Be inspiring for today, tomorrow and for the future

Selasa, 17 Juli 2012

Seberapa Siapkah Kita untuk Menghadapi Kekecewaan???

Kecewa adalah bahasa fitrah manusia, karena di sanalah rasa itu "bermain". Ya, sama dengan fitrah manusia yang lainnya, kekecewaan begitu dekat dengan diri kita. Bahkan kadang kita tidak menyadari kehadirannya dalam diri kita, bahkan sering kali kita lalai betapa sebuah kekecewaan sudah begitu terinternalisasi dengan kuat dalam segenap apa yang ada dalam diri kita. Pertanyaannya, seberapa siapkah kita untuk menghadapi kekecewaan itu???

Pertanyaan yang setiap orang mungkin hanya ingin menjawabnya sendiri. Ya, setiap dari diri kita tentu memiliki banyak harapan, banyak impian, asa dan cita, bahkan mungkin lebih dari itu. Dan tentu setiap apa yang hadir dalam benak atau hati dan pikiran kita, maka idealnya ingin sekali mewujud sebagaimana yang kita inginkan, dan jika tidak, maka ya itulah sebuah kekecewaan. Seringkali apa yang kita harapkan tidak berbanding lurus dengan kenyataan yang kita terima dikehidupan yang riil, sebuah aplikasi teori deprivasi relatif. Begitulah, meski ada banyak cara dan meski setiap dari diri kita tak selalu menempatkan kekecewaan sebagai jawaban akhir atas segenap harapan yang kita tanam, tapi nyata-nyatanya di sanalah kekecewaan yang tak disadari itu perlahan-lahan menggerogoti optimisme yang sempat ada.

Membahas tentang kecewa tentu teramat sangat kontroversi (mungkin), karena wujud kekecewaan adalah perasaan, dan itu tentu saja abstrak. Tapi meskipun begitu, setidaknya ini bisa menjadi media untuk kembali kita menelaahi diri menuju sebuah perbaikan yang lebih baik, semoga.

Kekecewaan sering kali ditempatkan seolah-olah seperti "seorang pesakitan", sebuah keadaan atau perasaan yang seolah-olah sangat dilarang, kadang terkesan begitu, apalagi bagi mereka, para aktivis. Seringkali dikatakan bahwa ketika kita merasa kecewa, berarti kita masih berharap kepada makhluk, dan memang harus diakui, makhluk bukanlah sosok yang sempurna, yang dapat memberikan segala sesuatu yang kita inginkan, terlebih sesuatu itu benar-benar sesuai dengan apa yang kita petakan dalam hati dan pikiran kita. Begitulah, polemik sebuah kekecewaan.

Tapi dalam subjektifitas penulis, sebenarnya tidak sepenuhnya salah ketika seseorang merasakan kekecewaan. Karena jika saja kekecewaan itu dapat kemudian dikelola dengan positif, maka ia akan memberikan banyak pelajaran yang berharga bagi si pribadi yang kecewa itu, bahkan mungkin juga bagi yang lain. Tapi ya lagi-lagi hal ini tentu tidak berlaku mutlak pada setiap diri manusia, begitulah, manusia itu berbeda satu sama lain, dan tentu saja dalam menyikapi sesuatu perihal pun akan berlainan cara dan responnya.

Kembali kepertanyaan, seberapa siapkah kita untuk menghadapi kekecewaan???

Bisa jadi itu adalah pertanyaan yang tak ditemukan jawabannya atau ketika pun jawabannya ada, maka jawaban itu memiliki banyak option yang bisa dipilih oleh siapapun sebagai itu tadi, perbedaan cara dan respon dari setiap individu dalam menyikapi sesuatu hal. Tapi meskipun demikian adanya, memang kesiapan kita tidaklah selesai dengan jawaban persentase angka, karena kesiapan itu tidak selalu dapat diukur dengan deretan angka. Kesiapan kita untuk menghadapi kekecewaan sebetulnya ada pada diri kita sendiri, sejauh mana diri kita ini sudah kita siapkan untuk melalui masa-masa itu.

Rasa-rasanya terlalu berlebihan juga jika kita menempatkan kekecewaan sebagai sesuatu yang salah atau tidak boleh sama sekali. Setiap dari diri kita pasti pernah kecewa meskipun mungkin alur cerita kekecewaannya berbeda satu sama lain, pun dengan penyikapannya. Kekecewaan adalah "bumbu" dalam hidup kita, artian di sinilah teori deprivasi relatif berlaku. Masalahnya adalah bukan kepada kecewa atau tidak, akan tetapi lebih kepada bagaimana kita memanage diri kita ketika kita ada dalam kondisi kecewa itu.

Kekecewaan, apapun penyebabnya seringkali begitu dekat dengan keputus asaan, amarah, kesedihan dan bahkan dendam. Nah inilah yang sebetulnya dikhawatirkan ketika seseorang dijangkiti rasa kecewa. Tapi ketika kekecewaan itu disikapi dengan positif, bukan tidak mungkin justru ia berubah menjadi sebuah kekuatan yang semakin mengobarkan optimisme, perbaikan diri, kreatifitas, etos kerja yang tinggi, dan banyak hal positif lainnya. Permasalahannya sekarang adalah, bagaimana caranya kita bisa mengelola sebuah kekecewaan menjadi sesuatu hal yang positif???

Nah, di sinilah kawan pentingnya kita untuk senantiasa menyiapkan diri, dalam hal apapun termasuk dalam hal kekecewaan. Banyak orang yang bilang jika kita banyak bersyukur maka tidak akan ada kekecewaan itu, jika kita ikhlas dan sabar, maka kekecewaan itu akan jauh dari diri kita. Hal-hal positif tadi tidak akan muncul begitu saja kalau kita tidak mengikhtiarkan diri untuk ada dalam keadaan yang demikian. Lalu, bagaimana agar kekecewaan itu menjadi sesuatu hal yang positif???

Jawaban sederhananya adalah, siapkan diri kita untuk menghadapi berbagai dinamika kehidupan dan ambilah pelajaran dari setiap apapun yang terjadi dalam hidup kita, dengan bentuk dan cara yang paling mungkin kita lakukan.

Bisa jadi banyak orang (terlebih mungkin yang membaca catatan ini) tak sependapat dengan apa yang penulis uraikan, tapi begitulah cara yang pernah dicoba (oleh penulis khususnya) dalam menghadapi kekecewaan, apapun penyebab dan bentuknya. Itu adalah langkah awal yang paling sederhana. Jika kawan punya cara tersendiri itu bisa jadi lebih baik. Tapi bagaimanapun cara yang kita lakukan untuk memanage kekecewaan, kembali pertanyaan itu dilontarkan...

SEBERAPA SIAPKAH KITA UNTUK MENGHADAPI KEKECEWAAN ITU???

Maka, renungkan dan jawablah dengan tenang, adakah kita sudah mempersiapkan diri kita untuk itu???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar