Kecewa adalah bahasa fitrah manusia, karena di sanalah rasa itu
"bermain". Ya, sama dengan fitrah manusia yang lainnya, kekecewaan
begitu dekat dengan diri kita. Bahkan kadang kita tidak menyadari
kehadirannya dalam diri kita, bahkan sering kali kita lalai betapa
sebuah kekecewaan sudah begitu terinternalisasi dengan kuat dalam
segenap apa yang ada dalam diri kita. Pertanyaannya, seberapa siapkah
kita untuk menghadapi kekecewaan itu???
Pertanyaan yang
setiap orang mungkin hanya ingin menjawabnya sendiri. Ya, setiap dari
diri kita tentu memiliki banyak harapan, banyak impian, asa dan cita,
bahkan mungkin lebih dari itu. Dan tentu setiap apa yang hadir dalam
benak atau hati dan pikiran kita, maka idealnya ingin sekali mewujud
sebagaimana yang kita inginkan, dan jika tidak, maka ya itulah sebuah
kekecewaan. Seringkali apa yang kita harapkan tidak berbanding lurus
dengan kenyataan yang kita terima dikehidupan yang riil, sebuah aplikasi
teori deprivasi relatif. Begitulah, meski ada banyak cara dan meski
setiap dari diri kita tak selalu menempatkan kekecewaan sebagai jawaban
akhir atas segenap harapan yang kita tanam, tapi nyata-nyatanya di
sanalah kekecewaan yang tak disadari itu perlahan-lahan menggerogoti
optimisme yang sempat ada.
Membahas tentang kecewa tentu
teramat sangat kontroversi (mungkin), karena wujud kekecewaan adalah
perasaan, dan itu tentu saja abstrak. Tapi meskipun begitu, setidaknya
ini bisa menjadi media untuk kembali kita menelaahi diri menuju sebuah
perbaikan yang lebih baik, semoga.
Kekecewaan sering kali
ditempatkan seolah-olah seperti "seorang pesakitan", sebuah keadaan atau
perasaan yang seolah-olah sangat dilarang, kadang terkesan begitu,
apalagi bagi mereka, para aktivis. Seringkali dikatakan bahwa ketika
kita merasa kecewa, berarti kita masih berharap kepada makhluk, dan
memang harus diakui, makhluk bukanlah sosok yang sempurna, yang dapat
memberikan segala sesuatu yang kita inginkan, terlebih sesuatu itu
benar-benar sesuai dengan apa yang kita petakan dalam hati dan pikiran
kita. Begitulah, polemik sebuah kekecewaan.
Tapi dalam
subjektifitas penulis, sebenarnya tidak sepenuhnya salah ketika
seseorang merasakan kekecewaan. Karena jika saja kekecewaan itu dapat
kemudian dikelola dengan positif, maka ia akan memberikan banyak
pelajaran yang berharga bagi si pribadi yang kecewa itu, bahkan mungkin
juga bagi yang lain. Tapi ya lagi-lagi hal ini tentu tidak berlaku
mutlak pada setiap diri manusia, begitulah, manusia itu berbeda satu
sama lain, dan tentu saja dalam menyikapi sesuatu perihal pun akan
berlainan cara dan responnya.
Kembali kepertanyaan, seberapa siapkah kita untuk menghadapi kekecewaan???
Bisa
jadi itu adalah pertanyaan yang tak ditemukan jawabannya atau ketika
pun jawabannya ada, maka jawaban itu memiliki banyak option yang bisa
dipilih oleh siapapun sebagai itu tadi, perbedaan cara dan respon dari
setiap individu dalam menyikapi sesuatu hal. Tapi meskipun demikian
adanya, memang kesiapan kita tidaklah selesai dengan jawaban persentase
angka, karena kesiapan itu tidak selalu dapat diukur dengan deretan
angka. Kesiapan kita untuk menghadapi kekecewaan sebetulnya ada pada
diri kita sendiri, sejauh mana diri kita ini sudah kita siapkan untuk
melalui masa-masa itu.
Rasa-rasanya terlalu berlebihan
juga jika kita menempatkan kekecewaan sebagai sesuatu yang salah atau
tidak boleh sama sekali. Setiap dari diri kita pasti pernah kecewa
meskipun mungkin alur cerita kekecewaannya berbeda satu sama lain, pun
dengan penyikapannya. Kekecewaan adalah "bumbu" dalam hidup kita, artian
di sinilah teori deprivasi relatif berlaku. Masalahnya adalah bukan
kepada kecewa atau tidak, akan tetapi lebih kepada bagaimana kita memanage
diri kita ketika kita ada dalam kondisi kecewa itu.
Kekecewaan,
apapun penyebabnya seringkali begitu dekat dengan keputus asaan,
amarah, kesedihan dan bahkan dendam. Nah inilah yang sebetulnya
dikhawatirkan ketika seseorang dijangkiti rasa kecewa. Tapi ketika
kekecewaan itu disikapi dengan positif, bukan tidak mungkin justru ia
berubah menjadi sebuah kekuatan yang semakin mengobarkan optimisme,
perbaikan diri, kreatifitas, etos kerja yang tinggi, dan banyak hal
positif lainnya. Permasalahannya sekarang adalah, bagaimana caranya kita
bisa mengelola sebuah kekecewaan menjadi sesuatu hal yang positif???
Nah,
di sinilah kawan pentingnya kita untuk senantiasa menyiapkan diri,
dalam hal apapun termasuk dalam hal kekecewaan. Banyak orang yang bilang
jika kita banyak bersyukur maka tidak akan ada kekecewaan itu, jika
kita ikhlas dan sabar, maka kekecewaan itu akan jauh dari diri kita.
Hal-hal positif tadi tidak akan muncul begitu saja kalau kita tidak mengikhtiarkan diri untuk ada dalam keadaan yang demikian. Lalu,
bagaimana agar kekecewaan itu menjadi sesuatu hal yang positif???
Jawaban
sederhananya adalah, siapkan diri kita untuk menghadapi berbagai
dinamika kehidupan dan ambilah pelajaran dari setiap apapun yang terjadi
dalam hidup kita, dengan bentuk dan cara yang paling mungkin kita lakukan.
Bisa jadi banyak orang (terlebih
mungkin yang membaca catatan ini) tak sependapat dengan apa yang penulis
uraikan, tapi begitulah cara yang pernah dicoba (oleh penulis
khususnya) dalam menghadapi kekecewaan, apapun penyebab dan bentuknya.
Itu adalah langkah awal yang paling sederhana. Jika kawan punya cara
tersendiri itu bisa jadi lebih baik. Tapi bagaimanapun cara yang kita
lakukan untuk memanage kekecewaan, kembali pertanyaan itu dilontarkan...
SEBERAPA SIAPKAH KITA UNTUK MENGHADAPI KEKECEWAAN ITU???
Maka, renungkan dan jawablah dengan tenang, adakah kita sudah mempersiapkan diri kita untuk itu???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar