Be inspiring for today, tomorrow and for the future

Rabu, 18 Juli 2012

Aktifitas Belajar

Paul D. Dierich mengklasifikasikan aktifitas belajar menjadi delapan kelompok, yaitu :

Kegiatan-kegiatan visual, seperti membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, mengamati orang lain bekerja atau bermain.
Kegiatan-kegiatan lisan (oral), seperti mengemukakan fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, berwawancara, diskusi. 
Kegiatan-kegiatan mendengarkan, seperti mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan permainan suatu instrumen musik, mendengarkan siaran radion.
Kegiatan-kegiatan menulis, seperti menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, bahan-bahan kopi, membuat sketsa atau rangkuman, mengerjakan tes atau agket.
Kegiatan-kegiatan menggambar, seperti menggambar, membuat grafik, diagram, peta, pola.
Kegiatan-kegiatan metrik, seperti melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan, menari, berkebun. 
Kegiatan-kegiatan mental, seperti merenung, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis faktor-faktor, menemukan hubungan-hubungan, membuat keputusan.
Kegiatan-kegiatan emosional, seperti minat, membedakan, berani, tenang, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan dalam kelompok ini terdapat pada semua kegiatan tersebut di atas, dan bersifat tumpang tindih (Burton, 1952: 436)

Ada tiga alternatif pendayagunaan asas aktivitas, yaitu :

Pelaksanaan aktivitas pembelajaran di kelas.
Pelaksanaan aktivitas pembelajaran sekolah masyarakat.
Pelaksanaan aktivitas pembelajaran dengan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
Pembelajaran dititik beratkan pada keaktifan siswa dan guru bertindak sebagai fasilitator dan      narasumber yang memberikan kemudahan bagi siswa untuk belajar.

Sumber: http://gratisbahankuliah.blogspot.com/2011/04/upaya-meningkatkan-aktivitas-dan.html) 



Selasa, 17 Juli 2012

Belajar Menjadi Pribadi Tangguh

Ada masa dimana kita tidak akan selalu ada di tempat yang sama. Hidup adalah sebuah siklus yang terus bergulir dan berproses. Ia mengikat setiap diri dalam masa-masa regenerasi. Di tempat yang nyaman ataupun di tempat yang berdinamika. Setiap sudut dari kehidupan kita hari ini akan mengajarkan banyak hal. Tentang kemampuan untuk bertahan, kemampuan untuk berjuang dan bahkan kemampuan untuk senantiasa bersabar. Siklus ini panjang dan memang tidak akan ada satu orangpun yang kemudian akan tahu kapan siklus kehidupan ini berakhir???. Semua sudah berjalan dalam garis yang ditentukan, tapi tentu ketentuan itu akan menjadi berbeda tatkala kita belajar menghiasinya dengan semangat ketulusan untuk senantiasa berjuang di jalan-NYA, ini sebuah essensi kehidupan yang membuat satu sama lain dari kita memandang berbeda akan keberadaan diri kita di bumi ini.

Siklus kehidupan yang panjang dengan banyaknya regenerasi ummat dan zaman, tentu akan kemudian menghadirka pula jutaan metamorfosa manusia, dan harus diakui, tak semua metamorfosa itu kemudian melahirkan sosok-sosok yang indah dengan ketangguhannya. Siklus pada akhirnya menyeret manusia kepada satu masa dimana ia akan tergantikan, sunnatullah, tak semuanya mampu untuk terus bertahan. Ketahanan kita akan semakin diuji, karena sebuah alur metamorfosa tak kemudian selesai sampai kepada lahirnya sosok yang tangguh, tapi metamorfosa itu akan terus bergulir hingga sosok-sosok yang terlahir itu kemudian memilih jalannya. Luar biasa memang, banyak yang menyerah ketika ia benar-benar membuka mata, melihat dengan nyata dan lebih dekat, betapa berdinamikannya sebuah alur kehidupan manusia.

Ketangguhan adalah hal yang harus manusia kreasikan dalam dirinya. Ia takkan hadir begitu saja tanpa sebuah ikhtiar, tanpa sebuah pembelajaran, karena ketangguhan adalah perisai kebertahanan dalam berdinamika. Menjadi pribadi tangguh adalah keniscayaan.Meskipun setiap individu bisa jadi berbeda dalam memaknai dan memahami arti tangguh itu sendiri. Akan tetapi tetap saja menjadi pribadi tangguh itu seolah-olah menjadi harus, karena tanpa ketangguhan siklus kehidupan dan metamorfosa seorang individu akan sulit untuk dijalani. Pun ketika kita menumbuhkan ketangguhan itu di dalam diri kita. Pribadi tangguh seolah menjadi konsep abstrak saja. Namun sesungguhnya ia bisa menjadi sesuatu yang nyata jika saja memang beriring berjalan dengan sebuah ikhtiar dalam bertahan.

Menjadi pribadi tangguh bukan hal mudah, tapi tidak kemudian menjadi hal yang sulit untuk diwujudkan. Semua dinamika hari ini adalah awal dari panjangnya proses metamorfosa untuk menjadi sosok seorang muslim yang ideal berbekal kekuatan iman, ketulusan ukhuwah dan kepribadian tangguh...Semoga menjadi bekal dakwah yang tak mengenal kata lelah, insyaAllah.

Pondasi Batu Bata : Sebuah Analogi Amal Jama'i

Ibarat sebuah tumpukan batu bata yang tersusun rapih satu sama lain, saling mengisi setiap celah kecil yang berlubang, hingga kemudian menjadi sebuah pondasi bangunan yang kokoh.

Sederhananya seperti itulah gambaran amalan jama'i. Setiap dari diri kita dituntut untuk kemudian dapat mengisi setiap lini yang belum terisi atau melengkapi setiap sisi dakwah yang membutuhkan kekuatan yang lebih. Dan setiap sisi-sisi yang terisi itu pada dasarnya saling berkaitan satu sama lain, tidak menjadi pondasi bangunan yang terpisah sendiri.

Dalam susunan batu bata itu tidak ada yang lebih rendah maupun yang lebih tinggi, karena setiap satu batu bata itu memiliki peran dan tugasnya masing-masing. Tidak akan kuat susunan batu bata itu jika ada satu bagian sisi yang kosong. Tumpukan atas tidak akan kuat tanpa pondasi batu bata yang ada di bawah. Pun tumpukan batu bata yang di bawah tidak akan berarti tanpa tumpukan batu bata yang ada di atasnya. Begitupun batu bata yang di sisi-sisi ataupun di tengah-tengah, takkan ada tanpa pondasi atas dan bawah.

Dan seperti itulah gambaran paling sederhana dari sebuah amal jama'i. Artinya, bukan posisi struktural yang kemudian kita cari dalam dakwah, akan tetapi bagaimana kita menempatkan diri untuk kemudian bisa memberikan kontribusi dalam dakwah ini, sekecil apapun itu, sekalipun tanpa posisi struktural.

Jangan lantas berbangga hati dengan posisi struktural yang kita miliki dalam amal jama'i ini, dan jangan pula bersedih hati jika kita tak miliki posisi struktural itu. Karena struktur hanya satu dari sekian banyak sarana dakwah.

Fokus seorang kader dakwah tidaklah terhenti pada orientasi struktural, akan tetapi fokusnya adalah ridho Allah dan tegaknya Islam dengan atau tanpa adanya posisi struktural itu.

Begitulah, batu bata itu tak pernah 'protes' ketika ditempatkan dimanapun, atas, tengah, samping atau bawah sekalipun. Bahkan tak pernah 'protes' ketika pun ditempatkan pada susunan pondasi yang lain atau tidak digunakan sama sekali. Batu bata yang kuat dan berkualitas, meskipun tak ditempatkan pada suatu pondasi bangunan mewah, tapi ia kemudian akan memberikan manfaat pada pondasi bangunan yang lainnya.

Komitmen...

Komitmen, ya itulah sebuah kata yang setiap orang menfasirkannya dengan cara dan bahasa yang berbeda. Terlebih ketika dalam tataran pemaknaan, sudah barang tentu setiap satu isi kepala akan berbeda pula dengan isi kepala yang lainnya. Tapi harus diakui, seringkali komitmen ini terlupakan atau bahkan mungkin dilupakan. Ia memang sesuatu yang abstrak, akan tetapi disadari atau tidak, sebuah komitmen ibarat pelita yang meskipun nampak kecil dan sesekali tertiup angin, namun ia tetap mampu memberikan cahaya meskipun mungkin terangnya tak seberapa.

Mempertahankan sebuah komitmen tidaklah mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. Ya terlepas dari berbagai pandangan yang berbeda dalam menilainya, yang jelas ujian dari sebuah komitmen itu luar biasa banyaknya. Teringat perbincangan disuatu petang, ceritanya petang itu memang sengaja diagendakan untuk membahas sesuatu yang bernama komitmen. Hmm...secara terminologis, kata komitmen memang cukup panjang dan yah dahsyat. Akan tetapi aplikasinya??? membuat sosok-sosok di petang itu berpikir keras. Lalu timbul sebuah pertanyaan yang membuyarkan pemikiran keras itu, "Sudah seperti apa komitmen dakwah kita sampai detik ini???". Buyar, lalu semakin menunduk dan semakin berpikir lagi, lebih keras dan dalam.

Ya, sejenak singgahlah ke Qs.At-Taubah : 111. Satu ayat itu saja sudah lebih dari cukup untuk menjabarkan komitmen apa yang mestinya dimiliki oleh seorang muslim. Terlebih ketika sosok muslim itu tahu dan paham akan konteks dakwah dan jihad. Benar-benar membuat kepala ini semakin menunduk, semoga dengan disertai ketundukan hati juga. Lalu hal yang selanjutnya muncul adalah, "Apa yang menjadi komitmen Islam???". Kembali, semakin berpikir dan akhirnya terjawab bahwasanya koitmen Islam itu adalah dua kalimat syahadat.

Itulah yang seringkali kita, khususnya saya lupakan. Seringkali terabaikan, tidak optimal untuk diupgrade. Padahal sebuah komitmen pun membutuhkan "refresh". Lalu timbul pertanyaan selanjutnya, "Tahukah, siapa saja orang yang akan menikmati manisnya sebuah komitmen Islam???". Terdiam, kemudian terjawab. Setidaknya ada tiga ayat diAl-Qur'an yang menjabarkan tentang mereka, orang-orang yang akan mendapatkan nikmat yang manis atas kekonsistenannya dalam menjaga komitmen Islam (tapi mohon maaf dengan sangat, saya lupa ayat-ayatnya). Tapi yang jelas dari setidaknya ketiga ayat tersebut dapat tergambar bahwa orang yang akan memetik buah manis dari komitmen Islam adalah mereka yang tak cukup sekedar beriman saja, akan tetapi juga bagaimana dari keimanannya itu lahir sebuah ikhtiar untuk senantiasa berbuat dan menegakan kebajikan.

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa untuk kita dapat kemudian menjaga konsistensi dari sebuah komitmen, apalagi komitmen Islam, itu bukanlah hal mudah yang bisa kita lakukan begitu saja. Bukan tanpa sebuah tantangan tapi tidak berarti juga itu menjadi sesuatu yang sulit. Setidaknya ada beberapa upaya yang dapat kita lakukan atau kita ikhtiarkan untuk kemudian menjaga konsistensi atau bahkan kekuatan pun kulaitas dari sebuah komitmen Islam yang kita bangun, diantaranya adalah : senantiasa mengikhtiarkan untuk meningkatkan dan melakukan perbaikan kualitas keimanan, mengupayakan untuk senantiasa berada atau memiliki saudara-saudara yang sudah benar-benar kuat dalam merealisasikan keimanannya dalam tataran konkrit, berdoa.

Dan tentu saja setiap orang memiliki caranya masing-masing dalam menjaga sebuah konsistensi komitmen. Apapun cara dan jalannya, semoga kita senantiasa berikhtiar yang terbaik dan optimal untuk membangun komitmen berislam yang mantap, massif dan kuat dalam dinamika. Komitmen yang menjadi "cahaya" bagi semesta, amin, insyaAllah.

Wallahulambishawab...

Fiqih Wanita : Wanita Sebagai Seorang Istri...

Menurut kepercayaan kuno, seorang wanita ditempatkan sebagai sosok yang kotor atau najis. Sosok yang diciptakan oleh setan sehingga waita adalah wakhluk yang harus dijauhi. Dalam banyak kisah dimasa jahiliah dulu, tentu kita sering kali menemukan bagaimana sosok wanita seolah-olah tidak berharga sama sekali. Setiap ada bayi perempuan yang lahir maka dengan segera ia akan dibunuh atau dikubur hidup-hidup, naudzubillah.

Padahal peran seorang wanita sangatlah luar biasa. Bagimana tidak, bukankah dari rahim seorang perempuan akan terlahir para pengukir peradaban itu??? Bukankah dari rahim perempuan pula generasi penerus itu hadir di bumi??? Dan bukankah pada diri perempuan pula (baca : ibu) surga itu berada???. Maka sungguh tidak masuk akal jika perempuan ditempatkan pada posisi yang begitu rendahnya sebagaimana zaman jahiliah dahulu.

Maka di sinilah Islam berperan. Bagaimana Islam mengubah pola pandang yang sempit itu kepada pola pandang yang luas, yang tidak lagi menempatkan kaum perempuan dalam konteks kehinaan. Islam datang dengan membawa cahaya peradaban. Islam pula yang kemudian memahamkan kita sampai hari ini akan berharganya seorang perempuan. Allah menciptakan makhluk-Nya dengan berpasang-pasangan, ke duanya saling melengkapi. Dan beginilah Islam kemudian menemptakan perempuan pada posisi yag begitu dimuliakan.

Allah Swt berfirman : "Dan diantara tada-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir" (Qs. Ar-Ruum : 21)

Teringat kisah pada masa Rasulullah dahulu, dimana kala itu pernah terjadi dikalangan para sahabat satu keadaan dimana beberapa sahabat mengasingkan diri dari hiruk-pikuk kehidupan dunia. Kebanyakan diantara mereka memilih untuk sepenuhnya mengabdi kepada Allah dengan shaum sepanjang hari, menghabiskan malam untuk beribadah kepada Allah dan mengabaikan wanita. Melihat kondisi ini Rasulullah pun kemudian bersabda : "Mengapa kalian melakukan hal seperti itu? Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah, orang yang paling bertaqwa, tetapi saat aku shaum aku berbuka, setelah bangun malam menyembah Allah akupun tidur, dan aku menikah. Barang siapa yang tidak mengikuti sunnahku, maka dia bukan termasuk ummatku" (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika kita merujuk kepada firman Allah dan sabda Rasulullah di atas, nampak bahwa Islam memposisikan seorang perempuan, dalam hal ini seorang Istri sebagai harta yang paling berharga. Harta yang berharga dalam konteks ini adalah sosok istri yang salehah. Istri yang salehah adalah harta yang paling berharga bagi seorang suami dalam kehidupannya setelah iman kepada Allah dan menjalankan perintah-Nya. Dalam sebuah hadits Rasulullah menyatakan : "Maukah engkau aku beritahu harta apa yang paling berharga bagi suami? Dia adalah istri yang salehah. Jika suami memandang istrinya, dia menyenangkan; jika suami memberi perintah, dia menuruti; dan jika suami jauh darinya, dia menjaga kehormatan suaminya" (HR. Abu Dawud)

"Dunia adalah perhiasa dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita salehah" (HR. Muslim)

Begitulah Islam memuliakan seorang perempuan. Islam mengagkat derajat seorang wanita sebagai seorang istri dengan memperhitungkan tugas rumah tangganya sebagi jihad. At-Tabrany meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas, "Seorang wanita datang kepada Rasulullah Saw lalu berkata, "Wahai Rasulullah, aku adalah wanita yang datang kepadamu. Tidak ada seorang wanita diantara mereka yang mengetahui masalah itu, tak ada seorang pun yang menginginkan aku datang kepadamu". Kemudian wanita itu mengungkapkan permasalahannya dan berkata, "Allah adalah Tuhan bagi pria dan wanita, dan engkau adalah Rasulullah bagi pria dan wanita. Berjuang dijalan Allah (jihad) diperintahkan kepada laki-laki; jika berhasil (dalam peperangan) mereka memperoleh haknya. Dan jika mereka meninggal, mereka tetap hidup (di akhirat) dan mereka dipelihara oleh Allah. Jadi amal apa yang pahalanya sama bagi kami untuk menaati Allah?". Rasul menjawab, "Taatilah suamimu dan penuhi kewajibamu. Hanya sedikit diantaramu yang melakukannya".

Islam sudah mengatur hak-hak seorang istri yang harus dipenuhi oleh suaminya. Seorang istri bukanlah "boneka" bagi suaminya. Sebaliknya Islam menempatkan seorang istri lebih dari seorang pelindung dan pengawas :Pertama, Islam memberi wanita keyakinan sebagai seorang muslim, kedua, Islam memberi wanita hati nurani untuk membangun masyarakat, ketiga, Islam menetapkan hukum tentang wanita dan komitmen terhadapnya, artian sebegai berikut :

Hak wanita yang pertama adalah mas kawin (mahar). Islam mewajibkan laki-laki memberikan mas kawin kepada wanita (calon istrinya) sebagai tanda cinta dan keseriusan. Allah Swt berfirman : "Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya" (Qs. An-Nisaa : 4)

Ungkapan "dengan penuh kerelaan" menegaskan mas kawin adalah hadiah dan bukan harga atas kesenangan yang suami dapatkan dari istri, sebagaimana sebagian orang menuntut mas kawin yang banyak atau mahal. Terkadanga wanita harus membayar harga yang tidak sebanding dengan apa yang harus ia kerjakan.

Hak wanita yang ke dua adalah nafkah. Suami harus menyediakan makanan, pakaian, tempat tinggal dan perawatan kesehatan bagi istrinya sesuai lingkungan, kondisi, dan penghasilan suami. Rasul Saw bersabda menyangkut hak wanita, "Engkau wajib memberikan makanan dan pakaian dengan baik" (HR. Abu Dawud). Konteks "dengan baik" di sini adalah sesuai dengan adat yang berlaku, tidak berlebihan dan tidak pula kekurangan.

Hak wanita yang ke tiga adalah perlakuan yang baik sebagaimana firman Allah dalam Qs. An-Nisaa : 19. Selain hak-hak seorang istri yang dipaparkan secara umum di atas, seorang istri pun wajib menaati suami. Akan tetapi konteks taat di sini adalah dalam hal kebaikan bukan dalam hal kemaksiatan kepada Allah. Seorang istri wajib mengatur uang keluarga, tidak menghabiskannya atau membelanjakannya kecuali dengan izin suami. Seorang istri tidak boleh menerima orang lain memasuki rumahnya tanpa seizin suami, meskipun orang itu adalah kerabat dekat.

Kewajiban-kewajiban itu pada hakikatnya tidaklah memberatkan bagi seorang istri jika dibandingkan dengan hak-hak istri yang sudah diatur dengan sedemikian sempurnanya oleh Allah dalam Islam. Semua aturan itu sudah Allah atur dengan adil sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah : 228.

Dengan uraian singkat di atas semoga ada banyak ilmu yang kemudian kita dapatkan dan kita terapkan jika masa beramanah menjadi seorang istri itu tiba. Semoga senantiasa ada manfaat yang dapat dipetik sari setiap apa-apa yang kita baca dan kita tuliskan. Wallahualambishawab.

(*Dengan beberapa tambahan dan perubahan)

Jilbab...

Mereka bilang jilbabku seperti jubah
Panjang dan lebar layaknya selendang
Dan mereka selalu bertanya
Tidakkah aku merasa gerah dan repot dengan jilbab yang aku kenakan itu???

Aku selalu tersenyum menanggapi itu semua
Jawaban yang paling sederhana yang aku berikan adalah, "Sungguh, aku nyaman dengan jilbab yang aku kenakan"
Dan ternyata itu tidak cukup
Mereka masih saja mempertanyakan, bahkan tak sedikit yang kemudian memandang curiga

Dan lagi, aku tersenyum
Tak ku pedulikan betul itu semua, cukuplah ku berikan penjelasan yang dapat mereka mengerti
Artian, jilbab ini cukuplah ku kenakan karena dan untuk Allah
Maka ketika makhluk menilai, cukup saja itu menjadi penilaian mereka

Berjilbab tak sekedar raga
Namun juga hati dan akhlaq
Diakui itu berat
Tapi di sanalah proses ikhtiar kita, dan selalu yakin Allah menilainya
Dan akupun masih belajar untuk itu

Maka kini aku yang bertanya
Jika mereka melihatku asing dengan jilbab ini
Lantas, aku tak habis pikir
Mengapa mereka justru bangga memamerkan aurat tanpa rasa malu???
Bahkan justru semakin banyak yang berlomba-lomba untuk itu

Bukankah perintah untuk menutup aurat sudah jelas ada dalam Al-Quran???
Bukankah malu itu salah satu cabang iman???

Aneh memang...

Ketika ada perempuan yang menutup auratnya dengan rapih
Tak sedikit dari mereka yang bertanya bahkan memandang aneh dan curiga
Tapi mengapa mereka membiarkan diri mereka sendiri, mengabaikan perintah Allah itu???
Dan mengapa mereka justru berdiam diri melihat saudara mereka yang tanpa rasa malu mempertontonkan auratnya???

Apakah ketidak pahaman yang menjadi alasan??? Ataukah ketidak tahuan??? Atau apa???

Inilah tugas kita
Mengingatkan dan mengajak saudara lainnya
Solehah bersama
Tak hanya untuk diri sendiri

Lalu, bagaimana dengan alasan belum siap???
Ah...sadarlah saudaraku, kesiapan itu tidak akan pernah ada kalau saja kita tidak berikhtiar
Kesiapan itu harus kita songsong, bukan kita tunggu
Maka jika kita masih berpikir begitu, jangan berharap kesiapan itu turun begitu saja dari langit sana !!!!!

Keras...
Ya, karena harusnya tidak ada toleransi ketika itu adalah perintah Allah
Tidak ada keringanan jika sebenar-benarnya kita masih sanggup berikhtiar
Maka, tunggu apa lagi

Jangan lagi melihat ini berat
Jangan lagi memandang ini ribet dan merepotkan
Dan jangan lagi ada ragu dalam hati
Bertindaklah !!!!!

Dan aku tetap nyaman meski mata-mata aneh itu masih saja nampak
Jilbab, jubah, selendang atau apapun istilah mereka
Maka ku biarkan saja
Allah istiqomahkan aku dalam ketaatan dan kebaikan kepada-Mu...

Lihatlah dengan baik
Sungguh, setiap diri seorang muslimah itu cantik
Dan sebaik-baik kecantikan tatkala ia menjaganya
Ya, menjaga untuk Allah dan untuk orang yang berhak saja melihatnya...

Jilbab takkan melunturkan kecantikan kita
Justru jilbab akan menjaganya
Menjaga dari tatapan liar
Menjaga dari ketidak teraturan

Itulah jilbab
Ia tak sekedar penunaian perintah
Akan tetapi jilbab adalah identitas sesungguhnya dari seorang muslimah
Maka cintailah jilbabmu, dengan segala ketulusan dan keyakinan kepada Allah...

Beginilah Cara Allah Mentarbiyah Kita...

Ada banyak orang yang mungkin merasa tidak benar-benar bisa menikmati keseharian dalam hidupnya. Ada banyak kerikil kecil, ada pula kerikil besar yang senantiasa menghiasi kehidupan kita setiap harinya. Inilah yang kemudian menjadi ujian bagi kita, dan ternyata tidak semua orang dapat menikmati ujian yang ada di hadapannya. Ujian kehidupan tidaklah selalu berbentuk kesulitan, kesempitan, bencana ataupun mungkin kehilangan. Makna ujian hidup begitu luas. Ujian dapat berbentuk kebahagiaan, keceriaan juga kesenangan. Bagaimana bisa kebahagiaan, keceriaan dan kesenangan menjadi ujian untuk hidup kita??? Jika itu menjadi ujian juga, apakah tidak ada kebahagiaan yang hadir dalam keseharian kita???.

Mungkin sedikitnya pertanyaan itulah yang saat ini berputar dalam benak dan pikiran kita, belum lagi ditambah dengan pertanyaan, jika kebahagiaan saja menjadi ujian, lantas, bagaimana bentuk kebahagiaan yang sesungguhnya???. Sahabat, makna kebahagiaan maupun ujian berupa kesulitan tidaklah selalu dimaknai sama oleh setiap orang. Misalnya saja contoh sederhana yang dekat dengan kehidupan sehari-hari kita adalah ketika kita berbicara masalah nilai akademik, bisa jadi ketika kita sekolah atau kuliah dan mendapatkan nilai terbaik bagi sebagian orang itu menjadi kebahagiaan, akan tetapi bisa jadi bagi sebagian yang lainnya itu justru merupakan ujian. Bagaimana bisa hal itu menjadi ujian???.

Begini sahabat, memang harus kita akui bahwa nilai maupun hasil yang sangat baik dari apa yang kita ikhtiarkan, memang harus diakui sebagai sebuah kebahagiaan. Akan tetapi kebahagiaan itu akan kemudian menjadi ujian tatkala dalam diri kita yang hadir kemudian bukanlah rasa syukur kepada DIA yang telah meridhoi kita untuk mendapatkan nilai atau hasil yang sangat baik itu. Justru yang kemudian terbersit dalam benak kita adalah perasaan iri, ujub, sombong dan riya. Di sinilah kemudian kebahagiaan itu menjadi ujian. Pun dalam kasus kehidupan yang terjadi pada diri kita dan ada dalam lingkungan kehidupan kita sehari-hari.

Di situlah sebetulnya makna tarbiyah bagi kehidupan dan diri kita. Seringkali kita luput untuk memetik hikmah dari segenap kebahagiaan yang Allah berikan kepada kita. Jangankan dalam keadaan bahagia, dalam kondisi kita tengah diuji dengan kesulitan, kesempitan atau bencana pun, masih banyak dari kita yang lagi-lagi tidak mampu memetik hikmahnya. Padahal hikmah maupun ibroh, itu merupakan salah satu cara Allah mentarbiyah kita. Bisa jadi tarbiyah itu kita peroleh melalui pintu ujian kesulitan dan kesempitan, bisa jadi pula tarbiyah itu kita peroleh melalui pintu nikmat kebahagiaan.

Ada banyak cara Allah mentarbiyah kita. Kebahagiaan dan ujian kesulitan serta kesempitan hanya satu diantara banyak pintu tarbiyah Allah. Andai saja kita mau mencoba memaknai apa yang sudah Allah ciptakan yang ada pada diri kita maupun ada pada bumi, semesta alam dan makhluk Allah lainnya, maka sungguh itu akan menjadi tarbiyah dari Allah untuk kita. Sehelai daun kering yang jatuh pun jika kita perhatikan dengan seksama, kemudian kita sadari bahwa sesungguhnya tidak ada sesuatu apapun yang terjadi di muka bumi ini di luar dari kehendak Allah. Ketika kita sampai kepada pemikiran itu, maka itulah satu dari sekian ribu (yang sebetulnya tak terhingga) tarbiyah dari Allah untuk kita. Yakinlah, Allah sudah mengatur semuanya untuk kita, sehingga dengan izin-NYA pula semua itu akan indah pada waktunya. Pun dengan tarbiyah Allah, itu salah satu bukti indahnya kehidupan yang senantiasa disandarkan kepada-NYA.

Apa yang terjadi dengan diri dan hidup kita, sungguh itu sudah ada dalam "skenario" Allah. Percayakan dan kembalikan semuanya kepada DIA, sehingga tidak akan rasa khawatir maupun ketakutan, keputus asaan bahkan ketidak percayaan kepada-NYA.

Tarbiyah dari Allah itu adalah nikmat yang harus kita syukuri. Semakin banyak kita bersyukur, semakin dekat kita dengan Allah, semakin dekat dengan nikmat yang Allah tambahkan dan insyaAllah akan kemudian kita semakin menikmati semua tarbiyah kehidupan yang senantiasa hadir dalam keseharian kita.

Karena ada banyak cara Allah mentarbiyah kita...

Maka sahabat, janganlah kemudian kita lelah dan menyerah untuk terus mengejar tarbiyah itu...

Tarbiyahlah dirimu, maka engkau akan semakin mengenal Tuhanmu, Allah...InsyaAllah...

Wallahualambishawab.

Membangun Masyarakat Berstruktur...

Masyarakat...

Siapa yang tidak pernah mendengar istilah tersebut??? Atau siapa yang tidak tahu apa dan bagaimana bentuk dari sebuah masyarakat itu??? Hari ini masyarakat sudah mewujud dalam banyak karakter, tatanan sosial dan tentu saja memiliki banyak komponen yang sangat kompleks. Kita, diri individu adalah komponen pembangun masyarakat itu.

Kondisi kita hari ini, sering kali kita memuji berbagai upaya strukturisasi masyarakat yang dilakukan oleh kekuatan selain kekuatan Islam. Bahkan tak jarang kita pun memuji pula penguasaan data dan informasi oleh ummat selain ummat Islam. Disadari atau tidak, kondisi ini menempatkan kita pada posisi dimana kita mengagumi keteraturan yang ada dalam ummat di luar ummat Islam tersebut. Sementara itu, kita justru sering kali melakukan kritik internal atas ketidak teraturannya struktur masyarakat Islam. Kritik tanpa solusi, dan anehnya kita justru menyimpan rasa curiga kepada pembangunan struktur masyarakat Islam. Kecurigaan itu kita tujukan kepada para aktivis dakwah yang berorientasi kepada pembangunan masyarakat Islam itu sendiri.

Sebenarnya jika kita melihat kondisi seperti ini tentu sangat mengkhawatirkan. Padahal pembangunan masyarakat muslim adalah fokus utama dalam kehidupan ummat hari ini. Pembangunan struktur masyarakat sebagian besarnya adalah upaya pembuktian kesempurnaan Islam. Islam dengan syumul (menyeluruh) mengatur dengan baik kehidupan manusia, baik dalam konteks manusia sebagai hamba Allah, manusia sebagai pribadi, terlebih manusia sebagai bagian dari masyarakat. Tentu saja hal ini harus berjalan sinergis, bagaimana nilai-nilai Islam yang luhur itu harus kemudian disertai dengan kerapihan struktur dari ummat Islam itu sendiri.

Saat ini kita harus mengakui bahwa kebangkitan Islam tengah bergelora hampir disetiap sudut dunia. Tak hanya di Indonesia, gelora kebangkitan Islam itu menyeruak di tengah-tengah negara yang secara mayoritas masyarakatnya adalah ummat Islam, semisal di Iran, Irak, Yordania, Mesir, Malaysia, Pakistan, Sudan bahkan merambah sampai ke negara-negara barat semisal Inggris, Amerika Serikat juga Australia. Begitulah siklus yang berjalan. Dahulu Islam lahir dalam kondisi masyarakat yang hidup dalam kejahiliahan. Islam adalah jawaban dan solusi atas berbagai permasalahan yang timbul dalam masyarakat yang jahiliah itu, terlebih sekarang ketika dunia sudah memasuki fase modernitas dengan berbagai perkembangan IPTEK yang seolah sudah tak bisa lagi dibendung. Maka Islam tidaklah kemudian menjad usang, akan tetapi Islam justru semakin menjadi solusi yang hidup sepanjang zaman ini berjalan.

Fase ummat hari ini di tengah-tengah gelora kembangkitan Islam setelah dahulu berjaya, kemudian seolah Islam itu "tidur", padahal Islam itu senantiasa "terjaga" dan "hidup", tiba pada masa dimana ia akan kemudian bangkit kembali untuk menawarkan solusi nyata atas kompleksitas yang muncul ditataran kemasyarakatan. Pada fase dimana gelora kebangkitan Islam tengah membahana, maka sungguh, fase ini akan menentukan seberapa lama lagi proyek "pencerahan" struktural, intelektual, dan kultural ini berjalan. Sehingga menjadi sesuatu yang wajar ketika ummat ini kemudian berusaha menunjukkan eksistensi dirinya dan mendobrak model sekuler yang telah lama membelenggunya untuk kemudian berganti menjadi sistem Islam.

Di sinilah tantangan itu bermain. Bagaimana kondisi ini kemudian hadir dalam wujud perbedaan dan heterogenitas pergerakan-pergerakan kebangkitan Islam yang muncul diberbagai belahan dunia. Sebuah tantangan yang luar biasa untuk kemudian lahir menjadi kekuatan dalam membangun masyarakat yang berstruktur. Pada hakikatnya kahidupan manusia dan semesata serta segala isi yang ada di dalamnya Allah tempatkan dalam keteraturan. Akan tetapi kondisi ini kemudian menjadi bergeser ketika spontanitas dan ketidak teraturan menjadi hal yang ditawarkan oleh musuh-musuh Islam untuk memposisikan ummat Islam dalam kondisi yang demikian. Terlebih keadaan ini diperparah dengan belum matangnya "qiyadah fikriyah", sebuah kematangan secara keilmuan untuk menyerap dan memilah apa-apa yang haq dan apa-apa yang batil.

Spontanitas dan ketidak teraturan bukanlah hukum dasar yang dipakai dalam membangun hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lainnya, hubungan manusia dengan dirinya dan hubungan manusia dengan alam semesta. Ummat Islam tidak mewarisi corak masyarakat yang seperti itu. Ketidak teraturan kehidupan manusia adalah gerbang ketidak harmonisan manusia dengan Allah, dengan manusia lainnya, dengan dirinya dan dengan alam semesta. Spontanitas dan ketidak teraturan adalah pemikiran-pemikiran yang bersifat destruktif yang dihidupkan dalam tubuh ummat ini atas nama kebebasan, inovasi dan menghindari taklid. Sehingga masyarakat yang kemudian ditawarkan adalah masyarakat yang tidak bervisi, tidak bermisi, tanpa pemimpin, tanpa arahan dan tanpa ketaatan.

Begitulah potret general dari kehidupan masyarakat yang tidak teratur. Sehingga kondisi seperti itulah yang memicu semakin tingginya kompleksitas persoalan yang muncul di dalam masyarakat. Dari mulai masalah infiltrasi pemikiran, kekuatan militer, hutang negara yang menjadi jebakan dari barat, hingga kepada tataran perihal yang "sederhana" semisal masalah pernikahan, pendidikan anak hingga kehidupan bertetangga. Kritis memang jika kondisi ini terus menerus dibiarkan tanpa adanya solusi nyata sebagai sebuah jawaban. Dan inilah PR riil yang ada di hadapan kita. Sebagai bagian dari perjalanan dakwah, hendaknya kepahaman kita akan konteks dakwah, akan Islam sebagai way of life hendaknya bisa menjadi cahaya di tengah-tengah kegelapan yang membuat ummat ini terpuruk.

Membangun masyarakat yang berstruktur adalah sebuah keniscayaan. Ada beberapa tahapan penting yang harus kita perhatikan dalam membangun masyarakat berstruktur ini, antara lain : pertama, pembangunan kepribadian (takwin asysyakhsiyah), kedua pembangunan semangat berjamaah (takwin ruhul jamaah), dan ketiga mendesainnya sebagai gerakan penyelamatan (harakatul inqadz). Setidaknya ketiga tahapan ini yang harus kita perhatikan dengan baik dalam proses membangun masyarakat berstruktur itu. Pembangunan kepribadian menjadi gerbang awal bagaimana kita bisa kemudian mencetak pribadi-pribadi muslim yang tidak sekedar siap melakukan perubahan, akan tetapi yang kemudian dicetak adalah pribadi-pribadi yang siap pula secara kapasitas keilmuan, kepahaman terhadap nilai-nilai Islam yang harus dikembangakan dalam kehidupan bermasyarakat bahkan sampai kepada tataran kesiapan untuk menghidupkan dakwah dan jihad. Pembangunan kepribadian yang siap ini tentu saja akan sulit atau bahkan gagal sama sekali ketika "proyek" pembangunan masyarakat berstruktur itu kemudian dijadikan "proyek" pribadi, artian akan sulit realisasinya jika hal itu hanya dikerjakan seorang diri. Pribadi yang sudah terbangun dengan baik dan matang, idealnya akan kemudian memahami dan membangun kekuatan yang lebih massif dengan berjamaah. Di sinilah pembangunan semangat berjamaah itu harus dimunculkan, sebab ada banyak "pos-pos" yang harus diisi di masyarakat yang menjadi kran pembangunan masyarakat berstruktur itu, dan tentu saja pengisian pos-pos tersebut tidak cukup jika mengandalkan kekuatan satu atau dua orang saja.

Ketika kepribadian sudah terbangun dengan matang, pun dengan semangat berjamaah, ternyata tidak cukup sampai di sana saja. Apalah artinya kepribadian muslim yang matang, jamaah yang solid tanpa adanya aksi nyata. Ya, sebuah pergerakan yang memberikan solusi atau persoalan yang bermunculan dalam tubuh ummat ini. Pribadi yang terinternalisasi dalam jamaah akan menjadi sebuah kekuatan ketika bergerak. Tapi bukan sekedar bergerak tanpa visi dan misi yang jelas. Sebuah pergerakan hendaknya memiliki capaian-capaian yang akan diwujudkan, dan hal ini dibutuhkan untuk sampai kepada pembangunan masyarakat berstruktur. Memang akan menjadi sebuah proses panjang dengan pengorbanan yang tidak sedikit untuk dapat mewujudkan keteraturan dalam masyarakat. Sebuah keteraturan yang dibangun di atas pondasi-pondasi nilai-nilai Islam yang terinternalisasi dengan baik, tak hanya secara individu, akan tetapi melebur menjadi kekuatan secara kolektif. Sebuah proyeksi masa depan melalui pergerakan.

Pertanyaan yang kemudian muncul setelah tahapan-tahapan itu kita pahami adalah, apakah kita cukup memiliki kapasitas untuk kemudian dapat menjalani semua proses itu??? Jawabannya tentu ada pada diri kita masing-masing. Akan tetapi terlepas dari bagaimana kondisi diri kita hari ini, yakinlah ketika kita tak pernah lelah untuk mentarbiyah diri, dan ketika kita memiliki visi dan misi perubahan dan perbaikan untuk membangun ummat ini karena landasan kecintaan kepada Allah, maka insyaAllah, kapasitas itu akan juga muncul dalam diri kita. Semua adalah proses, dan seorang aktivis sejatinya tidak akan pernah lelah untuk menjadi seorang pembelajar kebaikan, dan seorang aktivis pun sejatinya akan mengikhtiarkan dan senantiasa menyiapkan diri untuk bersegera menyambut seruan-seruan dakwah, dan ketidak teraturan masyarakat hari ini adalah satu dari sekian banyak PR ummat ini, dan terbangunnya masyarakat berstruktur adalah satu dari sekian banyak cita-cita dalam tubuh ummat ini. Maka bersiaplah, tawarkan Islam dan dakwah sebagai jawabannya.

Wallahualambishawab

(*Ringkasan dan Inspirasi dari buku : Dakwah dan Manajemen Isu...Dengan tambahan dan perubahan yang disesuaikan)

Belajar Membangun Mentalitas Kader...

Dakwah itu tak hanya membutuhkan kader yang cerdas

Dakwah itu tak hanya ditopang oleh kekuatan secara materi

Dakwah itu tak sekedar didorong kekuatan jasadi dan ruhi

Ada hal lain yang juga harus menjadi bekal dalam dakwah

Itulah mental yang kuat dan tekad yang dahsyat karena Allah semata...

Mental adalah satu dari sekian "modal" yang Allah berikan untuk kita jadikan bekal dalam kehidupan kita. Membangun mentalitas yang kuat dan tekad yang dahsyat bukanlah perkara yang sederhana, tapi bukan pula perkara yang rumit dan sulit. Kekuatan mental ibarat "bahan bakar" untuk kita menggerakan "mesin-mesin" dakwah, termasuk menggerakan diri kita.

Seringkali konteks membangun mentalitas kader yang kokoh ini terabaikan. Kenyataan di lapangan, dalam medan dakwah tentu ada sangat banyak ujian yang kapan saja siap melukai langkah kita, yang kapan saja siap membuat kita sakit dan menjadi pesakitan atau bahkan siap mengantarkan kita ke tepian jalan, menempatkan kita untuk merasa cukup menjadi "penonton" saja tanpa mampu berbuat lebih. Dalam kondisi yang demikian, tentu kekuatan mentalitas seorang kader sangat perlu untuk dibangun dan penting untuk diperhatikan, karena jika tidak, maka bersiaplah dengan banyaknya keluhan atas berbagai ujian yang ditemukan di lapangan.

Sebenarnya tidak ada yang keliru dengan keluhan-keluhan itu, karena keluhan adalah juga kebutuhan manusia. Tapi yang menjadi keliru adalah ketika keluhan-keluhan yang terlontar itu menjadi keluhan yang tidak solutif, yang ada justru melahirkan paradigma yang dekat pada sisi-sisi pesimisme sehingga dinamika yang tengah ditempuh lahir menjadi sesuatu hal yang nampak sulit dan rumit. Teringat dengan pesan dari seorang saudara seperjuangan, kurang lebih begini bunyi pesannya :

"Seharusnya seorang kader itu belajar untuk mengubah paradigma berpikirnya dalam melihat sesuatu. Meskipun kenyataan yang kita saksikan memang rumit dan terasa berat, tapi tidak bisakah kita belajar melihat hal itu menjadi sesuatu yang ringan dan biasa saja??? Paradigma berpikir optimis itu harus dibangun, apapun perkara atau masalah yang kita temukan di lapangan jangan selalu kita pandang sebagai kesulitan yang seolah-olah tidak ada jalan penyelesaiannya, karena setiap kita menempatkannya begitu. maka seolah-olah tidak ada lagi jalan bagi kita untuk menyelesaikannya"

Sepakat dan setuju dengan pernyataan tersebut. Bukan berarti kita menyepelekan permasalahan yang kita temukan di lapangan ketika kita tengah beramanah, akan tetapi memang cara paling efektif untuk membangun mentalitas seorang kader sebetulnya adalah dengan mengubah paradigma berpikir oleh dirinya sendiri. Mentalitas yang kuat pada akhirnya disadari atau tidak akan mengantarkan seorang kader pada posisi solutif, sederhananya "Menepi sejenak untuk berlari seribu langkah lebih cepat", bukan justru, "Menepi sejenak untuk beristirahat dan diam enggan bergerak".

Ia mengeluh, ia menyampaikan dinamika di lapangan sebagai upaya untuk mengoptimalisasi kemampuannya dalam berpikir strategis menyelesaikan berbagai dinamika itu, dan untuk bisa melakukan hal ini seorang kader harus belajar banyak. Belajar untuk berani berbenturan dengan dinamika amanah, berani untuk berspekulasi, berani untuk menempatkan paradigma positif sebagai gerbang awal bagi berbagai permasalahan yang dihadapinya.

Mentalitas yang kuat akan bersinergi dengan tekad yang dahsyat, dan inilah modal "imunitas" bagi seorang kader dakwah dalam beramanah. Mental yang cenderung rapuh akan sangat rentan berpengaruh kepada kekuatan tekadnya untuk terus berada dalam jalan dakwah, untuk terus berada bersama dalam barisan. Sinergisitas ini menjadi modal yang kuat bagi terbangunnya aktivitas strategis dari kader itu sendiri. Jika hanya terpenuhi salah satunya saja maka sangat disayangkan.

Membangun mentalitas yang memiliki daya tahan yang baik bagi seorang kader bisa diawali dengan membangun paradigma berpikir yang positif terhadap segala sesuatu. Idealnya seorang kader memang lebih banyak berpikir positif, terlebih dengan pemahaman dan keyakinan akan adanya pertolongan dari Allah, maka tidak ada satu pun permasalahan yang tidak ada solusinya dan karena itu tidak ada lagi alasan untuk terus berkeluh kesah tanpa ikhtiar mencari pemecahan masalah. Kekuatan mentalitas ini pada akhirnya tidak hanya sekedar menjadi "imun" bagi kader dalam beramanah dakwah secara struktural maupun non struktural, akan tetapi juga "imun" ini akan menjadi bekal bagi dirinya dalam beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Dalam lingkungan barisan atau pun bukan.

Seberapa Siapkah Kita untuk Menghadapi Kekecewaan???

Kecewa adalah bahasa fitrah manusia, karena di sanalah rasa itu "bermain". Ya, sama dengan fitrah manusia yang lainnya, kekecewaan begitu dekat dengan diri kita. Bahkan kadang kita tidak menyadari kehadirannya dalam diri kita, bahkan sering kali kita lalai betapa sebuah kekecewaan sudah begitu terinternalisasi dengan kuat dalam segenap apa yang ada dalam diri kita. Pertanyaannya, seberapa siapkah kita untuk menghadapi kekecewaan itu???

Pertanyaan yang setiap orang mungkin hanya ingin menjawabnya sendiri. Ya, setiap dari diri kita tentu memiliki banyak harapan, banyak impian, asa dan cita, bahkan mungkin lebih dari itu. Dan tentu setiap apa yang hadir dalam benak atau hati dan pikiran kita, maka idealnya ingin sekali mewujud sebagaimana yang kita inginkan, dan jika tidak, maka ya itulah sebuah kekecewaan. Seringkali apa yang kita harapkan tidak berbanding lurus dengan kenyataan yang kita terima dikehidupan yang riil, sebuah aplikasi teori deprivasi relatif. Begitulah, meski ada banyak cara dan meski setiap dari diri kita tak selalu menempatkan kekecewaan sebagai jawaban akhir atas segenap harapan yang kita tanam, tapi nyata-nyatanya di sanalah kekecewaan yang tak disadari itu perlahan-lahan menggerogoti optimisme yang sempat ada.

Membahas tentang kecewa tentu teramat sangat kontroversi (mungkin), karena wujud kekecewaan adalah perasaan, dan itu tentu saja abstrak. Tapi meskipun begitu, setidaknya ini bisa menjadi media untuk kembali kita menelaahi diri menuju sebuah perbaikan yang lebih baik, semoga.

Kekecewaan sering kali ditempatkan seolah-olah seperti "seorang pesakitan", sebuah keadaan atau perasaan yang seolah-olah sangat dilarang, kadang terkesan begitu, apalagi bagi mereka, para aktivis. Seringkali dikatakan bahwa ketika kita merasa kecewa, berarti kita masih berharap kepada makhluk, dan memang harus diakui, makhluk bukanlah sosok yang sempurna, yang dapat memberikan segala sesuatu yang kita inginkan, terlebih sesuatu itu benar-benar sesuai dengan apa yang kita petakan dalam hati dan pikiran kita. Begitulah, polemik sebuah kekecewaan.

Tapi dalam subjektifitas penulis, sebenarnya tidak sepenuhnya salah ketika seseorang merasakan kekecewaan. Karena jika saja kekecewaan itu dapat kemudian dikelola dengan positif, maka ia akan memberikan banyak pelajaran yang berharga bagi si pribadi yang kecewa itu, bahkan mungkin juga bagi yang lain. Tapi ya lagi-lagi hal ini tentu tidak berlaku mutlak pada setiap diri manusia, begitulah, manusia itu berbeda satu sama lain, dan tentu saja dalam menyikapi sesuatu perihal pun akan berlainan cara dan responnya.

Kembali kepertanyaan, seberapa siapkah kita untuk menghadapi kekecewaan???

Bisa jadi itu adalah pertanyaan yang tak ditemukan jawabannya atau ketika pun jawabannya ada, maka jawaban itu memiliki banyak option yang bisa dipilih oleh siapapun sebagai itu tadi, perbedaan cara dan respon dari setiap individu dalam menyikapi sesuatu hal. Tapi meskipun demikian adanya, memang kesiapan kita tidaklah selesai dengan jawaban persentase angka, karena kesiapan itu tidak selalu dapat diukur dengan deretan angka. Kesiapan kita untuk menghadapi kekecewaan sebetulnya ada pada diri kita sendiri, sejauh mana diri kita ini sudah kita siapkan untuk melalui masa-masa itu.

Rasa-rasanya terlalu berlebihan juga jika kita menempatkan kekecewaan sebagai sesuatu yang salah atau tidak boleh sama sekali. Setiap dari diri kita pasti pernah kecewa meskipun mungkin alur cerita kekecewaannya berbeda satu sama lain, pun dengan penyikapannya. Kekecewaan adalah "bumbu" dalam hidup kita, artian di sinilah teori deprivasi relatif berlaku. Masalahnya adalah bukan kepada kecewa atau tidak, akan tetapi lebih kepada bagaimana kita memanage diri kita ketika kita ada dalam kondisi kecewa itu.

Kekecewaan, apapun penyebabnya seringkali begitu dekat dengan keputus asaan, amarah, kesedihan dan bahkan dendam. Nah inilah yang sebetulnya dikhawatirkan ketika seseorang dijangkiti rasa kecewa. Tapi ketika kekecewaan itu disikapi dengan positif, bukan tidak mungkin justru ia berubah menjadi sebuah kekuatan yang semakin mengobarkan optimisme, perbaikan diri, kreatifitas, etos kerja yang tinggi, dan banyak hal positif lainnya. Permasalahannya sekarang adalah, bagaimana caranya kita bisa mengelola sebuah kekecewaan menjadi sesuatu hal yang positif???

Nah, di sinilah kawan pentingnya kita untuk senantiasa menyiapkan diri, dalam hal apapun termasuk dalam hal kekecewaan. Banyak orang yang bilang jika kita banyak bersyukur maka tidak akan ada kekecewaan itu, jika kita ikhlas dan sabar, maka kekecewaan itu akan jauh dari diri kita. Hal-hal positif tadi tidak akan muncul begitu saja kalau kita tidak mengikhtiarkan diri untuk ada dalam keadaan yang demikian. Lalu, bagaimana agar kekecewaan itu menjadi sesuatu hal yang positif???

Jawaban sederhananya adalah, siapkan diri kita untuk menghadapi berbagai dinamika kehidupan dan ambilah pelajaran dari setiap apapun yang terjadi dalam hidup kita, dengan bentuk dan cara yang paling mungkin kita lakukan.

Bisa jadi banyak orang (terlebih mungkin yang membaca catatan ini) tak sependapat dengan apa yang penulis uraikan, tapi begitulah cara yang pernah dicoba (oleh penulis khususnya) dalam menghadapi kekecewaan, apapun penyebab dan bentuknya. Itu adalah langkah awal yang paling sederhana. Jika kawan punya cara tersendiri itu bisa jadi lebih baik. Tapi bagaimanapun cara yang kita lakukan untuk memanage kekecewaan, kembali pertanyaan itu dilontarkan...

SEBERAPA SIAPKAH KITA UNTUK MENGHADAPI KEKECEWAAN ITU???

Maka, renungkan dan jawablah dengan tenang, adakah kita sudah mempersiapkan diri kita untuk itu???

Kita Tak Bisa Menunggu...

"Kita tak bisa menunggu, karena dakwah itu dinamis, ia bergulir dengan cepat, maka dari itu bersegeralah untuk memenuhi seruannya karena jika tidak, maka kita akan tertinggal, dan mungkin dinamisasi dakwah itu tidak akan kembali lagi menghampiri kita, jika kita menemukannya, mungkin itu adalah dinamisasi dakwah yang lain, yang juga menyerumu untuk bergerak, bergerak dan bergerak"...

Kembali teringatkan dengan peran strategis seorang kader dakwah. Ya, ungkapan di atas adalah ungkapan yang sebetulnya sering kali melintas dengan kuat dalam diri. Hanya sekedar ungkapan yang diciptakan sendiri, namun hebat, ia adalah tamparan saat raga ini lebih banyak memilih untuk diam. Terkadang kita, terlebih ratusan atau bahkan ribuan orang di luar sana yang mengaku sebagai aktivis, apalagi aktivis dakwah, hendaknya ia belajar untuk dapat memotivasi dirinya dengan baik sebelum ia memotivasi orang lain, hendaknya ia belajar untuk berinisiatif menggerakan dirinya dalam aktivitas kebaikan sebelum ia mendorong orang lain untuk ada dalam aktivitas kebaikan itu. Kondisi ideal yang sering kali berbenturan dengan kondisi riil seorang kader dakwah di lapangan.

Tak sedikit kader yang hari ini memilih untuk berjibaku dengan dirinya sendiri, ya itu memang tak sepenuhnya salah, hanya saja dunia terlalu luas untuk kemudian kita memilih menutup mata. Hari ini pun tak sedikit kader yang lebih memilih berada di "zona hijau", apapun wujudnya zona itu, namun ia lebih memilih untuk tetap di sana, menikmati kenyamanan yang sebetulnya adalah semu, karena dalam dakwah itu tidak ada kenyamanan yang hakiki selain kenyamanan yang Allah hadiahkan kelak untuk mereka yang ikhlas dan istiqomah berjuang di jalan-Nya, dakwah adalah jalan yang penuh dengan onak dan duri, dan sedikit sekali orang yang mampu bertahan di dalamnya.

Sangat disayangkan, evaluasi besar lainnya adalah pemenuhan kapasitas setiap diri individu untuk mau dan mampu berdinamika. Kekuatan kapasitas itu merupakan keniscayaan dari sebuah ikhtiar. Seorang kader tak hanya merasa cukup dengan banyaknya amanah yang ia jalankan atau cukup dengan banyaknya amanah yang ia peroleh, akan tetapi sinkronisasi amanah dengan kapasitas diri adalah penting. Karena sering kali kita kemudian tidak cukup kuat untuk bertahan ketika kapasitas diri itu kurang atau bahkan tidak ada sama sekali.

Kapasitas yang kita bicarakan adalah kapasitas secara tsaqafah. Seringkali kita terlalu banyak disibukan dengan berbagai qadhaya (permasalahan) yang kita hadapi tanpa kemudian berusaha menempatkan diri sebagai sumber solusi. Dinamika dakwah teramat sangat kompleks, dan tentu saja hal itu membutuhkan kesiapan dari setiap kadernya untuk kuat berjibaku dalam dinamika itu. Kuat tak sekedar ruhiyah, namun juga kuat secara keilmuan dan pengetahuan, kuat secara jasadiyah sudah barang tentu dibutuhkan, dan kultur inilah yang harus kita pertajam. Kultur kekuatan tsaqafah.

Membekali setiap diri individu kader dakwah dengan kemampuan untuk bisa berpikir strategis, ber-bargaining position, fleksibel dalam tataran konseptoral dan teknis lapangan merupakan kebutuhan dan keharusan yang nyatanya tak dapat ditawar-tawar lagi. Terkadang kita terlalu ragu bahkan mungkin takut dengan dinamika yang ada di hadapan karena kita tidak mempersiapkan diri untuk bergesekan dengan dinamika itu. Kita sering kali merapuh terhadap keadaan yang sebetulnya dapat kita kendalikan jika saja kita mengedepankan keyakinan dan ikhtiar teroptimal untuk tak lari dari keadaan itu.

Kita tak bisa menunggu, karena dakwah itu dinamis...

Ketika kita sadari adanya dinamisasi dakwah maka tentu menjadi kader yang pasif bukanlah pilihan atau menjadi kader yang senantiasa mencari "posisi aman", itu pun bukanlah jalan yang ditempuh. Dinamisasi dakwah idealnya beriringan dengan dinamisasi kader-kadernya. Belajar berpikir strategis terhadap dinamisasi itu, bukan saling menunggu, karena tak selalu setiap langkah dakwah harus menunggu instruksi. Tapi bukan pula ketika kita bergerak dahulu, maka sama dengan mengabaikan keharusan dari sebuah instruksi. Di sinilah berpikir strategis itu dituntut dari seorang kader. Upaya pemenuhan kapasitas diri dengan membaca, berdiskusi dan tentu saja learning by doing, belajar dari dinamika dakwah, karena lari jelas bukan dan tidak akan menjadi pilihan !!!

Kita tak bisa menunggu, karena dakwah itu dinamis...