Kekuatan dalam sebuah harakah atau
pergerakan salah satunya ada pada kapasitas kualitas serta kuantitas kader dari
harakah tersebut. Ketiga hal tersebut menjadi sesuatu yang urgen
bagi berkembangnya sebuah harakah, terlebih dalam harakah dakwah.
Kasus di lapangan hari ini, sering kali menempatkan target kuantitas sebagai
target utama yang harus dipenuhi. Sebetulnya memang mengejar target kuantitas
bukanlah hal yang keliru, akan tetapi mengejar target ini tidak harus kemudian
menjadi orientasi utama dari sebuah harakah. Kenapa? karena jika sebuah harakah
terlalu menempatkan target kuantitas sebagai tujuan utama dari sebuah harakah,
maka kecenderungan untuk membekali dan meningkatkan kapasitas kualitas dari
kader-kader yang ada di dalamnya cenderung lemah atau bahkan kurang sama
sekali. Kuantitas yang banyak memang adalah indikator kekuatan, akan tetapi
bisa jadi orientasi yang terlalu berlebihan terhadap kuantitas ini justru akan
menyibukan fokus tanzhim kepada "angka", sehingga celah-celah
yang akan melemahkan harakah banyak bermunculan di sana-sini.
Memang tawazun atau keseimbangan merupakan
hal klasik yang sering kali sulit untuk terwujud. Sebuah harakah yang
memiliki kapasitas kualitas kader yang matang dengan baik meskipun secara kuantitas
bisa jadi sedikit akan jauh lebih kuat dalam menjalankan fungsi-fungsinya
sebagai bagian dari pembangunan peradaban. Daya imunitas kader dalam sebuah harakah
yang dibangun dengan tingkat kematangan yang kuat, dengan sendirinya akan
membuka celah peningkatan secara kuatitas. Hal ini terjadi sebagai dampak dari
"matang" tak sekedar kuat secara tsaqafah, akan tetapi juga
memiliki kepahaman dan kesadaran untuk kemudian berkerja secara amal jama'i
dalam proses rekruitasi terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya menjadi hal
penting yang juga ia perhitungkan dan ia kerjakan. Berbeda halnya dengan harakah
yang lebih berorientasi kepada kuantitas. Jumlah kader yang banyak tentu
membutuhkan kemampuan manajerial yang juga harus hebat, tapi bukan berarti
jumlah kader sebuah harakah yang kuantitasnya lebih sedikit mengabaikan
fungsi manajerial ini, akan tetapi memang tingginya kuantitas kader dalam
sebuah harakah tentu menuntut qiyadah atau pun para pengambil
kebijakan di dalamnya untuk berstrategi lebih dalam. Strategi yang tak sekedar
berbicara dalam tataran gerakan di lapangan, akan tetapi juga strategi hebat
yang akan mematangkan kader-kader yang ada di dalamnya.
Jika melihat fenomena di lapangan hari ini,
umumnya hampir setiap harakah berorientasi kepada pemenuhan target angka
yang dicanangkan oleh harakahnya tanpa kemudian menyiapkan satu bentuk grand
design yang baik untuk mem-follow up ketercapaian target angka itu.
Hanya sedikit sekali harakah yang sudah cukup seimbang dalam
penyinergisan antara kuantitas dan kualitas, selebihnya? ya, entahlah. Sebagai
penonton dari luar lapangan, kondisi yang terlihat memang begitu adanya.
Akibatnya dengan orientasi pemenuhan tuntutan angka yang sudah menjadi
keputusan syuro dari internal harakah, menyebabkan kader-kader
teknis di lapangan kurang dibekali dengan kemampuan dan kesadaran untuk
berinisiatif. Terlebih ketika capaian-capaian dari harakah tersebut
sudah disertai dengan "job desk" yang sering kali dilabeli
dengan label "keputusan syuro itu tidak bisa diganggu gugat lagi".
Akibatkan kader-kader yang kerdil dalam bertindak
dan berpikir bermunculan, yang mengakibatkan daya imunitas mereka dan kemampuan
untuk berinisiatif melemah bahkan hilang sama sekali. Di sinilah nampak betul
betapa sebuah harakah itu memerlukan manajerial yang dalam dan baik,
manajerial yang tak hanya mengejar capaian atau target angka untuk menjaring
calon kader-kader baru, dan tak hanya memproyeksikan grand design untuk
mem-follow up kader-kader baru itu saja, akan tetapi juga harakah
itu hendaknya memperhatikan juga bagaimana mempertahankan kuantitas kader-kader
"lama" dengan tetap mempersiapkan sebuah "manhaj" yang
betul-betul semakin mematangkan kapasitas kualitas kader yang ada dalam harakahnya.
Kondisi ini memang pada akhirnya menempatkan harakah berdiri lebih dari
dua kaki, karena memang seperti itulah fungsi harakah dalam ikhtiarnya
untuk mengambil peranan strategis bagi pembentukan peradaban yang paripurna dan
madani bagi banyak pihak.
Kader-kader lapangan yang dikungkung oleh keputusan
syuro yang seolah-olah ditempatkan selalu mutlak adanya, akan membangun
sebuah mentalitas figuritas dan ketergantungan yang tak jarang justru semakin
membuat kader-kader itu melemah. Seolah-olah ide-ide kreatif yang bermunculan
dalam alam sadarnya tak berarti apapun ketika instruksi sudah mengatasnamakan syuro.
Sebetulnya tidak ada yang salah dengan syuro maupun kebijakan-kebijakan
yang dihasilkannya, akan tetapi kekurangmampuan dari beberapa qiyadah
atau para pengambil kebijakan tanzhim harakah dalam memformalkan atau
membahasakan kebijakan itu kepada kader lapangan (grass root) justru
pada akhirnya menjadi sebuah batu sandungan bagi pengembangan kemampuan
berinisiatif dan kreatifitas kader. Hal lainnya adalah ketika qiyadah
kurang memberikan kesempatan bagi kader untuk menyampaikan terlebih
merealisasikan ide-ide yang hadir dalam pikirannya, kondisi ini semakin
menempatkan kader pada keadaan tsiqoh yang sebetulnya bisa jadi tidak
memberikan mereka celah untuk memahami dan belajar akan diri dan harakah
tempatnya bernaung. Akibatnya pola yang demikian menimbulkan banyak efek yang
sering kali tidak terdeteksi oleh tanzhim dalam sebuah harakah.
Dua diantaranya adalah, pola ini mengerdilkan kader, di sisi yang lain pola ini
pun akan mendorong kader-kader lainnya untuk kemudian menelaahi kembali harakah
dimana ia berada, dan biasanya kader yang ada di dalam kondisi ini kemudian
seolah-olah ditempatkan sebagai "pemberontak" apakah dari
pemikirannya terlebih dari tindak-tanduknya.
Keadaan seperti itu jelas membutuhkan penanganan
yang tak bisa dilakoni sambil lalu. Itu adalah keadaan yang sering kali dialami
oleh kader "lama" dan keadaan seperti itu memungkinkan penurunan
kuantitas kader dalam harakah, bahkan bisa jadi kondisi yang tidak
diperbaiki dengan serius ini akan berlaku sama persis terhadap kader baru yang
mati-matian dijaring oleh harakah itu sendiri. Di sinilah satu dari
sekian banyak titik evaluasi bagi sebuah tanzhim harakah. Manajerial
kapasitas kualitas lagi-lagi menjadi perhatian penting, dan proses pencapaian
konsistensi kualitas kuantitas ini tak cukup dengan menggantungkan pada
sisi-sisi tarbawi saja, akan tetapi juga harus dipertajam dengan
pendekatan pemahaman di lapangan, dalam hal ini dalam beramanah dakwah pada wajihah-wajihah
maupun lini-lini dakwah lainnya. Pemposisian peranan qiyadah wal jundiyah menjadi
aspek penting yang membutuhkan kadar ekstra. Pola komunikasi dan pembahasan
terhadap berbagai kebijakan tanzhim bagi mereka, kader-kader di lapangan
menjadi perkara penting, pun dalam kadar "demokratisasi" tanzhim,
dimana qiyadah idealnya lebih banyak memberikan ruang untuk mendengarkan
berbagai ide, kritikan dan lain sebagainya yang dikemukan oleh jundiyahnya
di lapangan.
Permasalahan tanzhim harakah pada dasarnya
adalah masalah klasik. Seputar masalah pemenuhan kuantitas, peningkatan
kapasitas kualitas kader hingga masalah kebijakan syuro dan qiyadah
wal jundiyah menjadi PR-PR masa lalu yang fenomenanya selalu terulang dalam
setiap masa kepemimpinan. Jika PR-PR masa lalu ini selalu berulang fenomenanya
dan lagi-lagi diselesaikan dengan pola penyelesaian yang sama, maka
bersiap-siap saja hal itu akan menjadi "bom waktu" bagi stabilitas
sebuah harakah dakwah, bahkan "bom waktu" itu akan siap
meledak kapan saja, tak hanya menurunkan kapasitas kualitas kader atau pun
menurunkan kuantitas kader lama dan kader baru, akan tetapi lebih dari itu,
"bom waktu" itu akan memupus bersih cita-cita untuk mewujudkan
masyarakat yang paripurna dan madani di masa sekarang terlebih di masa depan.
Wallahualambishawab...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar