Siapa bilang dakwah hanya menjadi tugas para da'i atau da'iyah atau para ulama atau para ustadz
dan ustadzah?
dan ustadzah?
Tentu saja tidak. Dakwah pada hakikatnya adalah tugas bagi kita
semua, ummat manusia yang menghambakan dirinya kepada Allah. Ingatkah
kita bahwasanya ketika dahulu, pada masa dimana manusia Allah ciptakan
dengan segenap potensi yang dimilikinya, dari sekian banyak makhluk yang
Allah ciptakan, maka manusia-lah yang dengan begitu berani mengambil
amanah sebagai khalifah di muka bumi ini.
"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi
dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu adalah sangat dzalim dan
sangat bodoh" (Qs. Al-Ahzab: 33)
Ya, itulah manusia. Akan tetapi Allah Maha Adil, apa yang menjadi
kekurangan dari ummat manusia sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas,
Allah sertakan anugerah potensi yang luar biasa, ialah potensi hati,
akal dan jasad beserta potensi-potensi luar biasa lainnya, dan dengan
potensi-potensi itulah sebenarnya dan seharusnya manusia dapat
melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini dengan baik dan
ideal.
"Kemudian Dia menyempurnakannya dengan meniupkan roh
(ciptaan)-Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran,
penglihatan dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur"
(Qs. As-Sajdah: 9)
Kembali kepada konteks dakwah. Sekali lagi ditegaskan bahwasanya
dakwah adalah kewajiban setiap ummat manusia yang menghambakan dirinya
kepada Allah. Sayanganya kesadaran akan kewajiban dakwah itu tidak
dimiliki oleh setiap diri individu. Oleh karenanya kondisi inilah yang
menempatkan dakwah seolah-olah menjadi tanggung jawab bagi mereka yang
nampak Islami (da'i, ustadz, ulama, rohis, DKM dan sejenisnya), padahal
tidak sama sekali. Dakwah adalah kebutuhan alam semesta dan seisinya,
dakwah adalah kebutuhan primer bagi kita, manusia, dan dakwah tak
sekedar kita pahami dengan ceramah di atas mimbar atau tausyiah, karena
dakwah memiliki dimensi yang luas, dimensi yang lebih luas dari itu
semua.
Memahami dakwah tentu harus diawali dengan niat dan azzam (tekad)
yang menghujam, karena dakwah tidak bisa dipahami setengah-setengah,
tidak juga bisa dibahasakan dengan sambil lalu. Dakwah itu hakikatnya
tidak memberatkan sama sekali, berat atau tidaknya tergantung kepada
kita yang membawa risalah itu.
Miris ketika kita melihat kenyataan hari ini, betapa ummat manusia
bahkan mereka yang mengaku Islam seolah-olah sudah kehilangan essensi
dirinya sebagai hamba Allah. Tak sedikit yang memilih untuk menghambakan
dirinya kepada selain Allah, dan kondisi itu begitu dinikmati. Kini
kita akan menyoroti peran dan kondisi pemuda hari ini, terutama mereka,
para pemuda yang lahir dari rahim seorang muslimah. Tayangan di televisi
akhir-akhir ini begitu banyak diwarani dengan berbagai aksi penyimpanga
kaum remaja, dan berita yang tengah hangat dari kalangan pemuda atau
remaja adalah kasus tawuran yang sampai menewaskan jiwa-jiwa yang tidak
bersalah.
Pertanyaannya, ada apa dengan generasi muda bangsa ini?
Pihak yang paling disoroti dalam kasus tersebut tentu adalah pihak
sekolah dan orang tua. Bagaimana tidak, dalam paradigma berpikir kita,
sekolah sebagai lembaga pendidikan seharusnya dapat mendidik
siswa-siswinya untuk cerdas tidak sekedar dalam tataran kognitif, akan
tetapi sekolah dituntut juga untuk mencerdaskan siswa-siswinya hingga
tataran psikomotorik dan afektif, itu jika kita melihat peran sekolah
disandingkan dengan kebijakan pendidikan yang berlaku di negara ini.
Tapi perlu diingat, bahwa peran itu hakikatnya tidak mutlak sepenuhnya
menjadi tanggung jawab pihak sekolah, peran keluarga, terutama peran
orang tua tentu sangat penting, sehingga di sinilah kontroversi itu
terjadi.
Siswa SMA tawuran, siapa yang bertanggung jawab?
Jawabannya tentu semua pihak bertanggung jawab, bahkan
individu-individu pelaku tawuran pelajar pun ikut bertanggung jawab atas
dirinya sendiri. Sekolah dan keluarga, terutama orang tua adalah tokoh
sentral dalam kasus ini. Tapi kita tidak akan menguraikan terlalu
panjang lebar terkait hal itu, karena tentu hampir disetiap sesi
pemberitaan di televisi, hal tersebut seringkali dibahas dan disinggung.
Kini kita akan melihat korelasi dakwah dengan contoh kasus di atas.
Disadari atau tidak, mentalitas generasi muda bangsa ini adalah
mentalitas yang kerdil dan kering. Mentalitas yang dipupuk dalam jiwa
kaum muda Indonesia mayoritas adalah metalitas berbahasa otot, sehingga
pemuda-pemudi kita lebih senang dan merasa puas ketika menyelesaikan
masalah dengan bahasa otot, sangat sedikit kaum muda yang bisa diajak
berpikir jernih, strategis dan visioner. Kaum muda kita tumbuh dengan
emosi yang meledak-ledak, arogansi yang tinggi, prestise yang berlebihan
dan itu semua tidak diimbangi dengan kesadaran akan siapa dirinya?
Sebuah pertanyaan yang menanyakan hakikat dirinya sebagai manusia, dan
di sinilah sebetulnya dakwah begitu urgen bagi mereka, kaum muda
Indonesia.
Ketika pendekatan secara keilmuan (pendidikan formal) begitu sulit
menembus dinding-dinding mentalitas yang kerdil itu, maka yang dapat
menumbuh suburkannya adalah dakwah. Dakwah itu bukan ceramah, karena
ceramah hanya salah satu dari metode dakwah. Dakwah yang dapat
dihadirkan dalam lingkungan kaum muda Indonesia adalah pembinaan. Ya,
andai hati kecil mereka dapat ditanya dan dapat menjawab, sebetulnya
nampak betul betapa mereka merindukan kesejukan hati, ketentraman
pikiran dan bersihnya tindakan. Pelajaran agama yang dibanderol 2 jam
dalam sepekan di SMA dan cukup 2 SKS di universitas oleh kurikulum kita
tidak akan cukup untuk menjawab kebutuhan mentalitas kaum muda itu.
Jati diri mereka yang belum dikenali dengan baik, jati diri yang
masih sering diwarnai dengan ketidak stabilan membutuhkan upaya
penanganan yang tidak bisa sekedar kita pasrahkan begitu saja kepada
pihak sekolah atau cukup mendapat perhatian sekadarnya dari keluarga,
tidak seperti itu. Harus kita akui pula bahwasanya pendidikan rohaniah
atau dalam bahasa psikologi disebut mentalitas atau jiwa ini tidak
selalu bisa dipenuhi oleh sekolah maupun pihak keluarga, sehingga
dibutuhkan "tangan-tangan" terampil lainnya yang dapat membantu
terpenuhinya kebutuhan itu, dan itulah "tangan" dakwah.
Dakwah secara konsep memang nampak abstrak, tapi bukan berarti dakwah
tidak dapat dikonkritasikan. Dakwah dapat terlihat, misalnya saja
dengan keteladanan yang baik (uswatun hasanah), dan pola ini pulalah
yang menjadi salah satu pola yang digunakan oleh Rasulullah Saw dalam
mensyi'arkan Islam di lingkungan Mekkah yang begitu jahiliyah di
zamannya. Boleh diakui atau tidak, keteladan ini adalah salah satu hal
yag kering dalam kehidupan kita di negara ini. Mengapa dikatakan
demikian?
Sebagai contoh kita lihat di lingkungan sekolah, pewarisan "budaya"
senioritas yang berlebihan bahkan keluar dari batas-batas yang wajar
begitu marak terjadi. Bagaimana sosok senior dipandang dan ditempatkan
sebagai sosok yang harus dihormati dan apapun bisa dia lakukan tanpa ada
kata protes dari junior-juniornya, dan bukankah kondisi ini cenderung
mewariskan sesuatu hal yang negatif? dan ini terjadi di lingkungan
pendidikan, meski ya, tidak berlaku disemua lembaga pendidikan, tapi ini
nyata dan ada di sekitar dunia pendidikan di negara kita, inilah PR
lainnya yang belum selesai. Kondisi ini mau tidak mau, suka tidak suka
akan membekas kuat dalam ingatan junior-junior yang ada di sekolah,
misalnya perpeloncoan, cacian dan makian, sikap kasar, sikap asusila,
dan lain-lain, itu yang akan semakin tumbuh subur dalam benak generasi
muda Indonesia, dan tidak ada uswatun hasanah di sana.
Lalu kita lihat di rumah, sebagai contoh, berapa banyak anak yang
bermasalah di rumahnya (broken home)? sangat banyak ternyata. Berapa
banyak anak yang keluarganya baik-baik saja tapi ia kurang atau bahkan
tidak diawasi perkembangannya? sangat banyak pula, dan kondisi inilah
yang juga menyumbangkan kerdilnya mentalitas kaum muda Indonesia.
Pertengkaran orang tua, hukuman fisik di rumah, kata-kata kasar dari
teman, aktivitas-aktivitas atau kebiasaan-kebiasaan yang menyimpang di
lingkungan sekitar tempat remaja itu tumbuh, bukankah itu yang kemudian
akan menjadi warisan bagi perkembanngannya? adakah uswatun hasanah di
sana? jawabannya lagi-lagi tidak.
Lantas, dimanakah teladan yang baik itu bisa kita temukan?
Keteladanan yang baik ada pada dakwah, dan bahasa dakwah itu adalah
bahasa Islam, sedangkan bahasa Islam itu berarti bahasa keimanan dan
ketaqwaan, dan Islam itulah yang akan mengantarkan kita pada kehidupan
yang penuh kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan lahir dan batin,
insyaallah. Islam rahmatanlilalamin, ajarkan dan jadikan Al-Qur'an dan
Assunnah sebagai pedoman hidup yang utama.