Be inspiring for today, tomorrow and for the future

Sabtu, 29 September 2012

Remaja dan Dakwah


Siapa bilang dakwah hanya menjadi tugas para da'i atau da'iyah atau para ulama atau para ustadz
dan ustadzah?

Tentu saja tidak. Dakwah pada hakikatnya adalah tugas bagi kita semua, ummat manusia yang menghambakan dirinya kepada Allah. Ingatkah kita bahwasanya ketika dahulu, pada masa dimana manusia Allah ciptakan dengan segenap potensi yang dimilikinya, dari sekian banyak makhluk yang Allah ciptakan, maka manusia-lah yang dengan begitu berani mengambil amanah sebagai khalifah di muka bumi ini.

"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu adalah sangat dzalim dan sangat bodoh" (Qs. Al-Ahzab: 33)

Ya, itulah manusia. Akan tetapi Allah Maha Adil, apa yang menjadi kekurangan dari ummat manusia sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, Allah sertakan anugerah potensi yang luar biasa, ialah potensi hati, akal dan jasad beserta potensi-potensi luar biasa lainnya, dan dengan potensi-potensi itulah sebenarnya dan seharusnya manusia dapat melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini dengan baik dan ideal.

"Kemudian Dia menyempurnakannya dengan meniupkan roh (ciptaan)-Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur" (Qs. As-Sajdah: 9)

Kembali kepada konteks dakwah. Sekali lagi ditegaskan bahwasanya dakwah adalah kewajiban setiap ummat manusia yang menghambakan dirinya kepada Allah. Sayanganya kesadaran akan kewajiban dakwah itu tidak dimiliki oleh setiap diri individu. Oleh karenanya kondisi inilah yang menempatkan dakwah seolah-olah menjadi tanggung jawab bagi mereka yang nampak Islami (da'i, ustadz, ulama, rohis, DKM dan sejenisnya), padahal tidak sama sekali. Dakwah adalah kebutuhan alam semesta dan seisinya, dakwah adalah kebutuhan primer bagi kita, manusia, dan dakwah tak sekedar kita pahami dengan ceramah di atas mimbar atau tausyiah, karena dakwah memiliki dimensi yang luas, dimensi yang lebih luas dari itu semua.

Memahami dakwah tentu harus diawali dengan niat dan azzam (tekad) yang menghujam, karena dakwah tidak bisa dipahami setengah-setengah, tidak juga bisa dibahasakan dengan sambil lalu. Dakwah itu hakikatnya tidak memberatkan sama sekali, berat atau tidaknya tergantung kepada kita yang membawa risalah itu.

Miris ketika kita melihat kenyataan hari ini, betapa ummat manusia bahkan mereka yang mengaku Islam seolah-olah sudah kehilangan essensi dirinya sebagai hamba Allah. Tak sedikit yang memilih untuk menghambakan dirinya kepada selain Allah, dan kondisi itu begitu dinikmati. Kini kita akan menyoroti peran dan kondisi pemuda hari ini, terutama mereka, para pemuda yang lahir dari rahim seorang muslimah. Tayangan di televisi akhir-akhir ini begitu banyak diwarani dengan berbagai aksi penyimpanga kaum remaja, dan berita yang tengah hangat dari kalangan pemuda atau remaja adalah kasus tawuran yang sampai menewaskan jiwa-jiwa yang tidak bersalah.

Pertanyaannya, ada apa dengan generasi muda bangsa ini?

Pihak yang paling disoroti dalam kasus tersebut tentu adalah pihak sekolah dan orang tua. Bagaimana tidak, dalam paradigma berpikir kita, sekolah sebagai lembaga pendidikan seharusnya dapat mendidik siswa-siswinya untuk cerdas tidak sekedar dalam tataran kognitif, akan tetapi sekolah dituntut juga untuk mencerdaskan siswa-siswinya hingga tataran psikomotorik dan afektif, itu jika kita melihat peran sekolah disandingkan dengan kebijakan pendidikan yang berlaku di negara ini. Tapi perlu diingat, bahwa peran itu hakikatnya tidak mutlak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak sekolah, peran keluarga, terutama peran orang tua tentu sangat penting, sehingga di sinilah kontroversi itu terjadi.

Siswa SMA tawuran, siapa yang bertanggung jawab?

Jawabannya tentu semua pihak bertanggung jawab, bahkan individu-individu pelaku tawuran pelajar pun ikut bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Sekolah dan keluarga, terutama orang tua adalah tokoh sentral dalam kasus ini. Tapi kita tidak akan menguraikan terlalu panjang lebar terkait hal itu, karena tentu hampir disetiap sesi pemberitaan di televisi, hal tersebut seringkali dibahas dan disinggung.

Kini kita akan melihat korelasi dakwah dengan contoh kasus di atas. Disadari atau tidak, mentalitas generasi muda bangsa ini adalah mentalitas yang kerdil dan kering. Mentalitas yang dipupuk dalam jiwa kaum muda Indonesia mayoritas adalah metalitas berbahasa otot, sehingga pemuda-pemudi kita lebih senang dan merasa puas ketika menyelesaikan masalah dengan bahasa otot, sangat sedikit kaum muda yang bisa diajak berpikir jernih, strategis dan visioner. Kaum muda kita tumbuh dengan emosi yang meledak-ledak, arogansi yang tinggi, prestise yang berlebihan dan itu semua tidak diimbangi dengan kesadaran akan siapa dirinya? Sebuah pertanyaan yang menanyakan hakikat dirinya sebagai manusia, dan di sinilah sebetulnya dakwah begitu urgen bagi mereka, kaum muda Indonesia.

Ketika pendekatan secara keilmuan (pendidikan formal) begitu sulit menembus dinding-dinding mentalitas yang kerdil itu, maka yang dapat menumbuh suburkannya adalah dakwah. Dakwah itu bukan ceramah, karena ceramah hanya salah satu dari metode dakwah. Dakwah yang dapat dihadirkan dalam lingkungan kaum muda Indonesia adalah pembinaan. Ya, andai hati kecil mereka dapat ditanya dan dapat menjawab, sebetulnya nampak betul betapa mereka merindukan kesejukan hati, ketentraman pikiran dan bersihnya tindakan. Pelajaran agama yang dibanderol 2 jam dalam sepekan di SMA dan cukup 2 SKS di universitas oleh kurikulum kita tidak akan cukup untuk menjawab kebutuhan mentalitas kaum muda itu.

Jati diri mereka yang belum dikenali dengan baik, jati diri yang masih sering diwarnai dengan ketidak stabilan membutuhkan upaya penanganan yang tidak bisa sekedar kita pasrahkan begitu saja kepada pihak sekolah atau cukup mendapat perhatian sekadarnya dari keluarga, tidak seperti itu. Harus kita akui pula bahwasanya pendidikan rohaniah atau dalam bahasa psikologi disebut mentalitas atau jiwa ini tidak selalu bisa dipenuhi oleh sekolah maupun pihak keluarga, sehingga dibutuhkan "tangan-tangan" terampil lainnya yang dapat membantu terpenuhinya kebutuhan itu, dan itulah "tangan" dakwah.

Dakwah secara konsep memang nampak abstrak, tapi bukan berarti dakwah tidak dapat dikonkritasikan. Dakwah dapat terlihat, misalnya saja dengan keteladanan yang baik (uswatun hasanah), dan pola ini pulalah yang menjadi salah satu pola yang digunakan oleh Rasulullah Saw dalam mensyi'arkan Islam di lingkungan Mekkah yang begitu jahiliyah di zamannya. Boleh diakui atau tidak, keteladan ini adalah salah satu hal yag kering dalam kehidupan kita di negara ini. Mengapa dikatakan demikian?

Sebagai contoh kita lihat di lingkungan sekolah, pewarisan "budaya" senioritas yang berlebihan bahkan keluar dari batas-batas yang wajar begitu marak terjadi. Bagaimana sosok senior dipandang dan ditempatkan sebagai sosok yang harus dihormati dan apapun bisa dia lakukan tanpa ada kata protes dari junior-juniornya, dan bukankah kondisi ini cenderung mewariskan sesuatu hal yang negatif? dan ini terjadi di lingkungan pendidikan, meski ya, tidak berlaku disemua lembaga pendidikan, tapi ini nyata dan ada di sekitar dunia pendidikan di negara kita, inilah PR lainnya yang belum selesai. Kondisi ini mau tidak mau, suka tidak suka akan membekas kuat dalam ingatan junior-junior yang ada di sekolah, misalnya perpeloncoan, cacian dan makian, sikap kasar, sikap asusila, dan lain-lain, itu yang akan semakin tumbuh subur dalam benak generasi muda Indonesia, dan tidak ada uswatun hasanah di sana.

Lalu kita lihat di rumah, sebagai contoh, berapa banyak anak yang bermasalah di rumahnya (broken home)? sangat banyak ternyata. Berapa banyak anak yang keluarganya baik-baik saja tapi ia kurang atau bahkan tidak diawasi perkembangannya? sangat banyak pula, dan kondisi inilah yang juga menyumbangkan kerdilnya mentalitas kaum muda Indonesia. Pertengkaran orang tua, hukuman fisik di rumah, kata-kata kasar dari teman, aktivitas-aktivitas atau kebiasaan-kebiasaan yang menyimpang di lingkungan sekitar tempat remaja itu tumbuh, bukankah itu yang kemudian akan menjadi warisan bagi perkembanngannya? adakah uswatun hasanah di sana? jawabannya lagi-lagi tidak.

Lantas, dimanakah teladan yang baik itu bisa kita temukan?

Keteladanan yang baik ada pada dakwah, dan bahasa dakwah itu adalah bahasa Islam, sedangkan bahasa Islam itu berarti bahasa keimanan dan ketaqwaan, dan Islam itulah yang akan mengantarkan kita pada kehidupan yang penuh kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan lahir dan batin, insyaallah. Islam rahmatanlilalamin, ajarkan dan jadikan Al-Qur'an dan Assunnah sebagai pedoman hidup yang utama.




Suka · · · Bagikan · Hapus

Sabtu, 01 September 2012

Tsiqoh Itu...

"Ketika kelak di tengah perjalanan dakwah anti menemukan kekecewaan, maka ingatlah dengan baik bahwasanya jama'ah ini adalah jama'ah manusia, bukan jama'ah malaikat yang senantiasa sempurna dan tidak pernah mengenal kata salah"

Itu ada satu dari sekian pesan yang pernah diucapkan oleh murobbiyah saya ketika pertama kali kaki ini menginjak dunia kampus, melanjutkan jenjang tarbawi. Mungkin tak hanya beliau, saya yakin hampir setiap murobbi maupun murobbiyah lainnya pernah mengatakan hal yang serupa kepada para mutarobbi dan mutarobbiyahnya. Dulu, beberapa tahun yang lalu ketika beliau mengucapkan hal tersebut, saya meresponnya dengan seksama, saya coba patrikan pesan beliau dalam hati nurani dan ingatan saya. Luar biasa, sampai detik ini pesan dari murobbiyah saya itu benar-benar sangat berkesan dan tak terlupakan.

Jama'ah adalah salah satu sarana dakwah yang Allah sediakan bagi setiap hamba-Nya untuk menggemakan Islam. Dakwah memang dapat dilakukan oleh siapa saja, dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Tapi tentu ketika dakwah yang panjang ini dipikul sendiri, setiap titiannya dilalui sendiri akan terasa sangat lelah dan berat, sehingga di sinilah jama'ah itu berperan. Teringat sebuah pepatah lama yang menyebutkan, "Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing", pepatah yang sederhana yang mengingatkan kita akan makna berbagi, bergotong-royong, bersama-sama dan seperti itulah sebuah jama'ah tumbuh dan bergerak.

Seiring berjalannya waktu, berbagai perbedaan semakin nampak bermunculan, perbedaan ide, gagasan, pemikiran bahkan hingga strategi dan teknis kerja di lapangan. Jika kita keliru dalam menyikapi perbedaan itu, tentu jawaban pasti yang kita peroleh adalah satu, kekecewaan. Bagaimana tidak, sebuah perbedaan kecil yang sangat sederhana sekalipun ketika dinilai tidak sesuai dengan apa yang kita pikirkan atau apa yang kita inginkan, maka yang kemudian muncul adalah ego dan emosi yang tak terkendali. Salah satu kunci penting dalam berjama'ah adalah tsiqoh. Tsiqoh jika kita maknai secara bahasa artinya adalah percaya, akan tetapi jika kita telaahi dengan lebih luas, tsiqoh ini tidak berhenti pada satu titik sikap percaya atau tidak berhenti pada tataran percaya yang tidak memberikan ruang untuk kita belajar memahami.

Tsiqoh atau percaya semestinya dibangun di atas pondasi keterbukaan, artian terbuka dalam hal memberikan peluang bagi para kader dalam sebuah jama'ah untuk tetap mengembangkan ide-idenya atau gagasan-gagasan maupun pemikiran-pemikiran strategis untuk mengembangkan gerak dakwah dari sebuah jama'ah. Tsiqoh pun harus pula memiliki pintu yang mempersilahkan kader-kader dalam sebuah jama'ah untuk belajar mengerti dan memahami akan konteks jama'ah bahkan jika perlu hingga ke tataran kebijakan yang diambil atau pun diberlakukan dalam sebuah jama'ah. Memang tidak setiap perkara atau kebijakan jama'ah dapat dan harus dijelaskan secara terbuka kepada kader-kader yang ada dalam jama'ah, akan tetapi pola transparansi dalam membangun kekokohan jama'ah adalah sebuah keniscayaan.

Tsiqoh bukan "alat" untuk menutup mulut kader, tsiqoh bukan pula cara efektif untuk "membunuh" ide cerdas dan kreatif dari diri para kader, justru tsiqoh adalah gerbang yang menentukan kokoh tidaknya sebuah jama'ah dakwah. Transparansi kebijakan dalam sebuah jama'ah tidak selalu harus dipaparkan dengan detail di hadapan para kadernya, kepahaman kader akan jama'ah dan segala sesuatu yang ada di dalamnya dapat berkembang tatkala kader itu tak hanya sekedar tahu dan melaksanakan, akan tetapi ia pun berhak bertanya, berpendapat bahkan mengkritik. Tidak sedikit pihak dalam sebuah jama'ah dakwah yang memberikan penegasan bahwasanya kita, para kader cukuplah bertanya dan tahu apa-apa yang menjadi hak kita, kita tidak usah berlelah-lelah diri menanyakan dan mencari tahu apa yang bukan menjadi hak kita.

Penegasan tersebut tentu membutuhkan suatu batasan yang jelas, karena seorang kader dalam sebuah jama'ah bisa saja ia mengajukan pertanyaan atau mengetahui sesuatu hal yang menurutnya memang itu harus ia tanyakan atau harus ia ketahui akan tetapi jama'ah melihat hal itu sebagai sebuah kekeliruan bahkan pelanggaran. Kondisi ini tidak bisa "dibunuh" begitu saja oleh jama'ah dengan alasan tidak pada tempatnya atau dengan alasan amniyah (rahasia). Keadaan yang demikian jika tidak diperbaiki perlahan-lahan akan merongrong kekokohan internal dan gerak jama'ah. Di sinilah posisi tsiqoh itu berperan penting, memang harus diakui bahwasanya banyak bertanya pun bukanlah hal yang baik, akan tetapi tidak boleh atau dibatasi untuk bertanya atau pun mengetahui sesuatu hal terlebih memberi saran atau kritik untuk struktural jama'ah dalam jama'ah itu juga sama tidak baiknya, sehingga tsiqoh adalah jawaban yang dapat menjadi jembatan bagi keduanya.

Bagaimana tsiqoh ini dapat berperan? Tsiqoh bukanlah "senjata" yang dapat digunakan untuk membuat kader tunduk tanpa tanya dan tanpa bicara. Tsiqoh membutuhkan keterampilan untuk dapat diterapkan dalam diri setiap kader dalam sebuah jama'ah dakwah. Sederhananya adalah berikan pemaparan ketika kader bertanya atau mengetahui sesuatu hal terkait kebijakan jama'ah yang sifatnya amniyah maupun tidak. Berikan kesempatan untuk kader berbicara, memberikan saran atau pun kritikan untuk jama'ahnya, karena bukankah jama'ah kita bukan jama'ah malaikat? Saran dan kritik pada dasarnya dapat menjadi gerbang pengokohan jama'ah jika saja direspon dengan baik, dan saran serta kritik pun dapat menjadi ancaman bagi kekokohan jama'ah ketika direspon dengan negatif. 

Seringkali muara akhir dari tsiqoh itu adalah kebijakan syuro, dan inilah yang tak jarang pada akhirnya "membunuh" kader itu sendiri, karena kebijakan syuro bukanlah kebijakan yang diambil secara pribadi, karena kebijakan syuro bukan pula kebijakan yang diambil secara sepihak, karena kebijakan syuro adalah kebijakan yang diambil oleh mereka yang memiliki kapasitas yang mumpuni. Itulah penjelasan yang pada akhirnya menutup rapat-rapat seorang kader dalam diam dan menempatkan ia untuk cukup bertanya kepada dirinya sendiri. Lalu apakah ketika seorang kader mempertanyakan syuro adalah sama denga tidak tsiqoh?. Pertanyaan essensial yang mungkin sulit untuk dijawab dan dijelaskan.

Kekecewaan kader terhadap jama'ah bisa jadi lahir bukan sekedar karena ego atau pun emosinya, bukan sekedar terjadi karena ia dinilai tidak tsiqoh, bukan pula perkara ini jama'ah manusia atau ini jama'ah malaikat, bukan sekedar terjadi karena perkara amanah dan agenda, akan tetapi kekecewaan itu justru bisa bermula dari tidak jelasnya konteks tsiqoh yang selama ini selalu ditanamkan dalam diri setiap kader, penanaman tsiqoh yang tidak memberikan ruang bagi kader untuk melakukan apapun, terlebih melakukan suatu perkara yang dinilai menyimpang dari aturan semestinya dalam jama'ah.

Ketika dikatakan bahwa ini bukanlah jama'ah malaikat yang selalu sempurna dan tak pernah salah, maka jawabannya kini adalah justru karena ini adalah jama'ah manusia, maka berikanlah sedikit ruang untuk manusia dalam jama'ah itu "bernafas" tidak dengan diam, justru karena ini jama'ah manusia maka izinkanlah kader-kader di dalamnya untuk tsiqoh pada hal yang semestinya, karena tsiqoh bukan satu-satunya ukuran taat dan bertanya, memberikan saran dan kritik atau pun tahu sesuatu hal yang dinilai amniyah dalam jama'ah bukan indikator ia tidak tsiqoh

Jadi, "desain" tsiqoh yang bagaimanakah yang dinilai ideal untuk mengokohkan jama'ah dakwah? PR besar yang harus kita jawab.