"Ketika kelak di tengah perjalanan dakwah anti menemukan kekecewaan, maka ingatlah dengan baik bahwasanya jama'ah ini adalah jama'ah manusia, bukan jama'ah malaikat yang senantiasa sempurna dan tidak pernah mengenal kata salah"
Itu ada satu dari sekian pesan yang pernah diucapkan oleh murobbiyah saya ketika pertama kali kaki ini menginjak dunia kampus, melanjutkan jenjang tarbawi. Mungkin tak hanya beliau, saya yakin hampir setiap murobbi maupun murobbiyah lainnya pernah mengatakan hal yang serupa kepada para mutarobbi dan mutarobbiyahnya. Dulu, beberapa tahun yang lalu ketika beliau mengucapkan hal tersebut, saya meresponnya dengan seksama, saya coba patrikan pesan beliau dalam hati nurani dan ingatan saya. Luar biasa, sampai detik ini pesan dari murobbiyah saya itu benar-benar sangat berkesan dan tak terlupakan.
Jama'ah adalah salah satu sarana dakwah yang Allah sediakan bagi setiap hamba-Nya untuk menggemakan Islam. Dakwah memang dapat dilakukan oleh siapa saja, dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Tapi tentu ketika dakwah yang panjang ini dipikul sendiri, setiap titiannya dilalui sendiri akan terasa sangat lelah dan berat, sehingga di sinilah jama'ah itu berperan. Teringat sebuah pepatah lama yang menyebutkan, "Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing", pepatah yang sederhana yang mengingatkan kita akan makna berbagi, bergotong-royong, bersama-sama dan seperti itulah sebuah jama'ah tumbuh dan bergerak.
Seiring berjalannya waktu, berbagai perbedaan semakin nampak bermunculan, perbedaan ide, gagasan, pemikiran bahkan hingga strategi dan teknis kerja di lapangan. Jika kita keliru dalam menyikapi perbedaan itu, tentu jawaban pasti yang kita peroleh adalah satu, kekecewaan. Bagaimana tidak, sebuah perbedaan kecil yang sangat sederhana sekalipun ketika dinilai tidak sesuai dengan apa yang kita pikirkan atau apa yang kita inginkan, maka yang kemudian muncul adalah ego dan emosi yang tak terkendali. Salah satu kunci penting dalam berjama'ah adalah tsiqoh. Tsiqoh jika kita maknai secara bahasa artinya adalah percaya, akan tetapi jika kita telaahi dengan lebih luas, tsiqoh ini tidak berhenti pada satu titik sikap percaya atau tidak berhenti pada tataran percaya yang tidak memberikan ruang untuk kita belajar memahami.
Tsiqoh atau percaya semestinya dibangun di atas pondasi keterbukaan, artian terbuka dalam hal memberikan peluang bagi para kader dalam sebuah jama'ah untuk tetap mengembangkan ide-idenya atau gagasan-gagasan maupun pemikiran-pemikiran strategis untuk mengembangkan gerak dakwah dari sebuah jama'ah. Tsiqoh pun harus pula memiliki pintu yang mempersilahkan kader-kader dalam sebuah jama'ah untuk belajar mengerti dan memahami akan konteks jama'ah bahkan jika perlu hingga ke tataran kebijakan yang diambil atau pun diberlakukan dalam sebuah jama'ah. Memang tidak setiap perkara atau kebijakan jama'ah dapat dan harus dijelaskan secara terbuka kepada kader-kader yang ada dalam jama'ah, akan tetapi pola transparansi dalam membangun kekokohan jama'ah adalah sebuah keniscayaan.
Tsiqoh bukan "alat" untuk menutup mulut kader, tsiqoh bukan pula cara efektif untuk "membunuh" ide cerdas dan kreatif dari diri para kader, justru tsiqoh adalah gerbang yang menentukan kokoh tidaknya sebuah jama'ah dakwah. Transparansi kebijakan dalam sebuah jama'ah tidak selalu harus dipaparkan dengan detail di hadapan para kadernya, kepahaman kader akan jama'ah dan segala sesuatu yang ada di dalamnya dapat berkembang tatkala kader itu tak hanya sekedar tahu dan melaksanakan, akan tetapi ia pun berhak bertanya, berpendapat bahkan mengkritik. Tidak sedikit pihak dalam sebuah jama'ah dakwah yang memberikan penegasan bahwasanya kita, para kader cukuplah bertanya dan tahu apa-apa yang menjadi hak kita, kita tidak usah berlelah-lelah diri menanyakan dan mencari tahu apa yang bukan menjadi hak kita.
Penegasan tersebut tentu membutuhkan suatu batasan yang jelas, karena seorang kader dalam sebuah jama'ah bisa saja ia mengajukan pertanyaan atau mengetahui sesuatu hal yang menurutnya memang itu harus ia tanyakan atau harus ia ketahui akan tetapi jama'ah melihat hal itu sebagai sebuah kekeliruan bahkan pelanggaran. Kondisi ini tidak bisa "dibunuh" begitu saja oleh jama'ah dengan alasan tidak pada tempatnya atau dengan alasan amniyah (rahasia). Keadaan yang demikian jika tidak diperbaiki perlahan-lahan akan merongrong kekokohan internal dan gerak jama'ah. Di sinilah posisi tsiqoh itu berperan penting, memang harus diakui bahwasanya banyak bertanya pun bukanlah hal yang baik, akan tetapi tidak boleh atau dibatasi untuk bertanya atau pun mengetahui sesuatu hal terlebih memberi saran atau kritik untuk struktural jama'ah dalam jama'ah itu juga sama tidak baiknya, sehingga tsiqoh adalah jawaban yang dapat menjadi jembatan bagi keduanya.
Bagaimana tsiqoh ini dapat berperan? Tsiqoh bukanlah "senjata" yang dapat digunakan untuk membuat kader tunduk tanpa tanya dan tanpa bicara. Tsiqoh membutuhkan keterampilan untuk dapat diterapkan dalam diri setiap kader dalam sebuah jama'ah dakwah. Sederhananya adalah berikan pemaparan ketika kader bertanya atau mengetahui sesuatu hal terkait kebijakan jama'ah yang sifatnya amniyah maupun tidak. Berikan kesempatan untuk kader berbicara, memberikan saran atau pun kritikan untuk jama'ahnya, karena bukankah jama'ah kita bukan jama'ah malaikat? Saran dan kritik pada dasarnya dapat menjadi gerbang pengokohan jama'ah jika saja direspon dengan baik, dan saran serta kritik pun dapat menjadi ancaman bagi kekokohan jama'ah ketika direspon dengan negatif.
Seringkali muara akhir dari tsiqoh itu adalah kebijakan syuro, dan inilah yang tak jarang pada akhirnya "membunuh" kader itu sendiri, karena kebijakan syuro bukanlah kebijakan yang diambil secara pribadi, karena kebijakan syuro bukan pula kebijakan yang diambil secara sepihak, karena kebijakan syuro adalah kebijakan yang diambil oleh mereka yang memiliki kapasitas yang mumpuni. Itulah penjelasan yang pada akhirnya menutup rapat-rapat seorang kader dalam diam dan menempatkan ia untuk cukup bertanya kepada dirinya sendiri. Lalu apakah ketika seorang kader mempertanyakan syuro adalah sama denga tidak tsiqoh?. Pertanyaan essensial yang mungkin sulit untuk dijawab dan dijelaskan.
Kekecewaan kader terhadap jama'ah bisa jadi lahir bukan sekedar karena ego atau pun emosinya, bukan sekedar terjadi karena ia dinilai tidak tsiqoh, bukan pula perkara ini jama'ah manusia atau ini jama'ah malaikat, bukan sekedar terjadi karena perkara amanah dan agenda, akan tetapi kekecewaan itu justru bisa bermula dari tidak jelasnya konteks tsiqoh yang selama ini selalu ditanamkan dalam diri setiap kader, penanaman tsiqoh yang tidak memberikan ruang bagi kader untuk melakukan apapun, terlebih melakukan suatu perkara yang dinilai menyimpang dari aturan semestinya dalam jama'ah.
Ketika dikatakan bahwa ini bukanlah jama'ah malaikat yang selalu sempurna dan tak pernah salah, maka jawabannya kini adalah justru karena ini adalah jama'ah manusia, maka berikanlah sedikit ruang untuk manusia dalam jama'ah itu "bernafas" tidak dengan diam, justru karena ini jama'ah manusia maka izinkanlah kader-kader di dalamnya untuk tsiqoh pada hal yang semestinya, karena tsiqoh bukan satu-satunya ukuran taat dan bertanya, memberikan saran dan kritik atau pun tahu sesuatu hal yang dinilai amniyah dalam jama'ah bukan indikator ia tidak tsiqoh.
Jadi, "desain" tsiqoh yang bagaimanakah yang dinilai ideal untuk mengokohkan jama'ah dakwah? PR besar yang harus kita jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar