Siang ini sepulang penelitian dari sekolah, dalam panasnya
udara Cianjur, saya bergegas menuju perpustakaan daerah. Rencananya saya
ke sana untuk mengembalikan buku sekaligus meminjam lagi buku lainnya
untuk sumber skripsi saya, tapi sayangnya buku yang dicari tak kunjung
ditemukan. Ketika mendekati adzan dzuhur berkumandang, saya tinggalkan
perpustakaan daerah, berjalan kaki menuju arah pulang di mana angkot 02A
sudah banyak menunggu penumpang di sana. Tapi yang ingin saya tuliskan
sebetulnya bukan tentang itu. Begitulah kalau "penyakit bertele-telenya"
saya kumat, tapi tak apalah, yang penting fakta ya.
Setibanya di rumah saya bersegera sholat dzuhur, kemudian
beristirahat sejenak. Ada sebuah pesan singkat yang saya terima dari
ibu. Siang ini saya mendapat tugas untuk mengantar nenek ke dokter.
Sudah sekitar 3 hari terakhir ini nenek sakit. Awalnya flu, tapi
kemudian berlanjut menjadi batuk yang menurut saya cukup parah. Semalam
pun keadaan nenek sangat tidak baik, saya hanya bisa memberikan obat
semampu saya untuk sementara waktu meringankan sakitnya nenek sebelum
hari ini ke dokter.
Hari memang masih terlalu siang untuk pergi ke dokter. Akhirnya
karena praktek dokter baru buka nanti sore, nenek mengajak saya
berbelanja ke pasar. Kata nenek hari ini beliau belum memasak lauk untuk
makan siang karena warung tempat nenek biasa berbelanja lauk pauk hari
ini tidak belanja, jadi tidak ada lauk pauk yang bisa dibeli di sana,
dengan senang hati saya menemani nenek, karena memang sudah lama juga
saya tidak masuk ke pasar tradisional di sini. Maklum saja saya sangat
jarang pulang selama saya kuliah, dan begitu pulang, baru kali ini saya
memiliki kesempatan untuk berbelanja ke pasar. Menyenangkan, ternyata
sekarang pasarnya hadir dengan "wajah baru" meski tak benar-benar baru,
tapi saya suka. Membantu mensejahterakan petani dan pedagang lokal
dengan berbelanja di pasar tradisional.
Udara siang ini memang cukup panas, maklum saja di Cianjur hampir
setiap hari hujan. Pagi-pagi cerah, menjelang siang langit agak mendung
dan petangnya hujan turun deras hampir semalaman, dan efeknya? suhu
udara menjadi tidak menentu. Tapi meskipun begitu, saya tetap suka,
sangat suka. Hujan itu benar-benar rahmat, menyejukkan suasana dan yang
pasti air di sumur bertambah banyak, bunga-bunga di halaman rumah pun
tumbuh dengan begitu segarnya, apalagi mawar putih, bunga kesayangan
saya itu semakin cantik dan bersih. Indah memang.
Kembali ke cerita belanja ke pasar tradisional ya. Pasar terdekat
dari rumah dan dari tempat praktek dokter adalah Pasar Bojong Meron dan
Pasar Induk. Berhubung diantara kedua pasar itu yang paling dekat dengan
tempat praktek dokter adalah Pasar Bojong Meron, akhirnya saya dan
nenek pun memutuskan untuk pergi ke sana. Kami memulai aktivitas
berbelanja dengan membeli 1/2 kg telur ayam dengan harga Rp. 8000,
dilanjutkan dengan membeli 1/4 kg ikan teri daging seharga Rp. 9000,
lalu entah berapa kilogram sawi putih (sayuran favorit saya) dan kol
serta cabai rawit total ketiganya Rp. 7000. Ketika kami tengah membayar
sawi putih, kol dan cabai rawit, tiba-tiba datang seorang anak. Kalau
saya perhatikan dari wajah dan postur tubuhnya, anak itu berusia sekitar
8 tahunan. Ia menjajakan keresek, "Teh keresekna Teh, wios 500 wae
Teh", kurang lebih begitu yang dikatakan anak kecil penjual keresek itu.
Segera saya keluarkan uang logam Rp. 500, dan anak itu pun berlalu.
Saya lantas memasukan satu demi satu belanjaan yang sebelumnya sudah
kami beli ke dalam satu keresek besar itu. Selepas membeli sawi putih,
kol dan cabai rawit, saya dan nenek menyambangi penujual sayuran
lainnya, kami membeli seikat kacang panjang dan membeli kemiri semuanya
Rp. 3000 saja.
Proses belanja belum selesai, kami berdua melanjutkan langkah menuju
pedagang pisang di dekat rel kereta api. Pisang adalah salah satu buah
favorit saya dan keluarga. Pisang yang dijual di sini harganya dihitung
per satu buah. Harga satu buah pisang Rp. 500, entah pisang yang dibeli
nenek ada berapa banyak, yang jelas tadi nenek membayar pisang itu Rp.
8000. Setelah kami rasa cukup, maka kami pun memutuskan untuk pulang ke
rumah, parktek dokter masih lama. Ketika saya dan nenek berjalan menuju
tempat angkot, saya berpapasan lagi dengan anak penjual keresek itu.
Kali ini ia berjalan bersama temannya, sepertinya mereka mau pulang.
Saya baru sempat memperhatikan betapa lusuhnya ke dua anak itu. Wajah
lelah menggurat dalam wajah polos mereka. Terenyuh benar hati saya
melihat keduanya, saya teringat akan adik bungsu saya yang seusia denga
mereka. Harusnya anak seusia mereka tidak berada di pasar, tapi idealnya
mereka ada di bangku sekolah, dan tengah hari begitu seharusnya mereka
ada di rumah, makan siang atau mengerjakan PR atau mungkin tidur siang
atau bahkan bermain dengan teman-teman lainnya.
Sering kali kondisi di negara ini memang tidak adil. Ketika mereka,
para koruptor semakin kaya dan tertawa lepas di atas penderitaan rakyat,
mereka lupa bahwasanya ada banyak hak rakyat yang telah mereka rampas
secara paksa. Mungkin secara logika keterhubungan antara koruptor dengan
anak-anak penjual keresek itu nampak bias, tapi kalau kita coba
renungkan dan coba kita resapi, andai saja mereka, para penjahat rakyat
itu sadar, sesadar-sadarnya dengan hati nurani mereka, mereka akan
melihat bahwa dalam harta yang mereka makan itu terdapat hak anak-anak
penjual keresek yang tadi saya temui di pasar. Andai saja
kebijakan-kebijakan mereka itu tidak melanggengkan jalan korupsi,
mungkin dari kebijakan-kebijakan itu akan berbuah manis bagi anak-anak
penjual keresek tadi. Memang kondisi anak-anak itu tidak sepenuhnya
salah negara atau kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para wakil
rakyat, toh di parlemen sana pun masih ada orang-orang yang
memperjuangkan kebaikan meskipun mungkin mereka adalah golongan
minoritas. Hanya saja sebagai sebuah negara yang berdaulat, hendaknya
upaya untuk mensejahterakan rakyat, menciptakan kehidupan yang
berkeadilan, itu bisa diawali dari gerbang negara beserta
perangkat-perangkatnya.
Miris sekali. Cianjur memang kota kecil yang tak semegah Jakarta atau
semewah Bandung atau sedahsyat Surabaya atau kota-kota besar lainnya
yang ada di Indonesia. Tapi lihatlah kenyataan yang ada. Di kota kecil
yang saya cintai ini, wajah-wajah korban ketidak adilan di negeri ini
bertebaran di sana-sini. Ketidak adilan itu tidak memandang gender,
tidak pula memandang usia, semuanya seolah-olah dipukul rata. Saya dapat
membayangkan, betapa ruwetnya potret kehidupan di kota-kota besar yang
ada di negeri ini. Wajah-wajah yang sama seperti yang saya temukan di
Cianjur atau mungkin lebih mengerikan tumbuh semakin subur di kota-kota
megapolitan yang dibangga-banggakan oleh segelintir orang saja.
Itu hanya sekelumit kecil potret suram dari negara dan kota di mana
saya pun tumbuh dan hidup di dalamnya. Permasalahan di negeri ini memang
seperti lingkaran setan yang saling silang dan berkaitan. Fenomena
gunung es banyak dipertunjukkan, menghiasi negara kepulauan yang maha
luas ini. Tapi ya, ini hanya pandangan subjektifitas saya saja. Tentu di
luar sana ada lebih banyak orang-orang yang jauh lebih objektif
(mungkin), jauh lebih berimbang dalam membangun perspektif akan bangsa
dan negara kita, Indonesia.
Terbersit kembali salah satu mimpi saya yang masih tertunda. Sebuah
sekolah untuk rakyat. Sekolah yang diperuntukkan bagi mereka, anak-anak
yang putus sekolah. Sekolah yang dalam peta hidup saya, saya beri nama
"Rumah Belajar Cerdas Ceria". Meski grand designnya masih
mengambang, bahkan masih bisa dibilang itu baru ada dalam angan-angan
saya, tapi ketika asa itu menyala dengan maha dahsyat, menjadi doa dan
ikhtiar yang perlahan tapi pasti, saya yakin rumah belajar itu dapat
terwujud. Kelak ketika rumah belajar itu ada, maka anak-anak penjual
keresek itu harus ada di sana, menjadi bagian untuk dapat menikmati
pendidikan dan keceriaan sebagaimana mestinya. Maka mereka, anak-anak
yang tak seberuntung saya dan adik-adik saya, mereka harus ada di sana,
dan kelak ketika rumah belajar itu terwujud, tidak mustahil bupati,
gubernur, menteri, bahkan presiden atau paling tidak generasi muda yang
cerdas, berakhlaqul karimah dan kreatif serta inovatif bisa terlahir
dari rahim "Rumah Belajar Cerdas Ceria".
Allah, perkenankalah saya mewujudkan satu dari sekian banyak mimpi-mimpi saya...
"Rumah Belajar Cerdas Ceria", semoga engkau tak sekedar mimpi dan asa, tapi kelak berharaplah dalam doa dan ikhtiar bahwa engkau akan menjadi nyata...
"Rumah Belajar Cerdas Ceria', untuk Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan...
"Rumah Belajar Cerdas Ceria", mencerdaskan anak bangsa, mencerahkan untuk Indonesia yang madani...
Amin ya Rabb...Insyaallah...