Be inspiring for today, tomorrow and for the future

Senin, 22 Oktober 2012

Pasar, Anak Penjual Keresek dan Rumah Belajar Cerdas Ceria

Siang ini sepulang penelitian dari sekolah, dalam panasnya udara Cianjur, saya bergegas menuju perpustakaan daerah. Rencananya saya ke sana untuk mengembalikan buku sekaligus meminjam lagi buku lainnya untuk sumber skripsi saya, tapi sayangnya buku yang dicari tak kunjung ditemukan. Ketika mendekati adzan dzuhur berkumandang, saya tinggalkan perpustakaan daerah, berjalan kaki menuju arah pulang di mana angkot 02A sudah banyak menunggu penumpang di sana. Tapi yang ingin saya tuliskan sebetulnya bukan tentang itu. Begitulah kalau "penyakit bertele-telenya" saya kumat, tapi tak apalah, yang penting fakta ya.

Setibanya di rumah saya bersegera sholat dzuhur, kemudian beristirahat sejenak. Ada sebuah pesan singkat yang saya terima dari ibu. Siang ini saya mendapat tugas untuk mengantar nenek ke dokter. Sudah sekitar 3 hari terakhir ini nenek sakit. Awalnya flu, tapi kemudian berlanjut menjadi batuk yang menurut saya cukup parah. Semalam pun keadaan nenek sangat tidak baik, saya hanya bisa memberikan obat semampu saya untuk sementara waktu meringankan sakitnya nenek sebelum hari ini ke dokter.

Hari memang masih terlalu siang untuk pergi ke dokter. Akhirnya karena praktek dokter baru buka nanti sore, nenek mengajak saya berbelanja ke pasar. Kata nenek hari ini beliau belum memasak lauk untuk makan siang karena warung tempat nenek biasa berbelanja lauk pauk hari ini tidak belanja, jadi tidak ada lauk pauk yang bisa dibeli di sana, dengan senang hati saya menemani nenek, karena memang sudah lama juga saya tidak masuk ke pasar tradisional di sini. Maklum saja saya sangat jarang pulang selama saya kuliah, dan begitu pulang, baru kali ini saya memiliki kesempatan untuk berbelanja ke pasar. Menyenangkan, ternyata sekarang pasarnya hadir dengan "wajah baru" meski tak benar-benar baru, tapi saya suka. Membantu mensejahterakan petani dan pedagang lokal dengan berbelanja di pasar tradisional.

Udara siang ini memang cukup panas, maklum saja di Cianjur hampir setiap hari hujan. Pagi-pagi cerah, menjelang siang langit agak mendung dan petangnya hujan turun deras hampir semalaman, dan efeknya? suhu udara menjadi tidak menentu. Tapi meskipun begitu, saya tetap suka, sangat suka. Hujan itu benar-benar rahmat, menyejukkan suasana dan yang pasti air di sumur bertambah banyak, bunga-bunga di halaman rumah pun tumbuh dengan begitu segarnya, apalagi mawar putih, bunga kesayangan saya itu semakin cantik dan bersih. Indah memang.

Kembali ke cerita belanja ke pasar tradisional ya. Pasar terdekat dari rumah dan dari tempat praktek dokter adalah Pasar Bojong Meron dan Pasar Induk. Berhubung diantara kedua pasar itu yang paling dekat dengan tempat praktek dokter adalah Pasar Bojong Meron, akhirnya saya dan nenek pun memutuskan untuk pergi ke sana. Kami memulai aktivitas berbelanja dengan membeli 1/2 kg telur ayam dengan harga Rp. 8000, dilanjutkan dengan membeli 1/4 kg ikan teri daging seharga Rp. 9000, lalu entah berapa kilogram sawi putih (sayuran favorit saya) dan kol serta cabai rawit total ketiganya Rp. 7000. Ketika kami tengah membayar sawi putih, kol dan cabai rawit, tiba-tiba datang seorang anak. Kalau saya perhatikan dari wajah dan postur tubuhnya, anak itu berusia sekitar 8 tahunan. Ia menjajakan keresek, "Teh keresekna Teh, wios 500 wae Teh", kurang lebih begitu yang dikatakan anak kecil penjual keresek itu. Segera saya keluarkan uang logam Rp. 500, dan anak itu pun berlalu. Saya lantas memasukan satu demi satu belanjaan yang sebelumnya sudah kami beli ke dalam satu keresek besar itu. Selepas membeli sawi putih, kol dan cabai rawit, saya dan nenek menyambangi penujual sayuran lainnya, kami membeli seikat kacang panjang dan membeli kemiri semuanya Rp. 3000 saja.

Proses belanja belum selesai, kami berdua melanjutkan langkah menuju pedagang pisang di dekat rel kereta api. Pisang adalah salah satu buah favorit saya dan keluarga. Pisang yang dijual di sini harganya dihitung per satu buah. Harga satu buah pisang Rp. 500, entah pisang yang dibeli nenek ada berapa banyak, yang jelas tadi nenek membayar pisang itu Rp. 8000. Setelah kami rasa cukup, maka kami pun memutuskan untuk pulang ke rumah, parktek dokter masih lama. Ketika saya dan nenek berjalan menuju tempat angkot, saya berpapasan lagi dengan anak penjual keresek itu. Kali ini ia berjalan bersama temannya, sepertinya mereka mau pulang. Saya baru sempat memperhatikan betapa lusuhnya ke dua anak itu. Wajah lelah menggurat dalam wajah polos mereka. Terenyuh benar hati saya melihat keduanya, saya teringat akan adik bungsu saya yang seusia denga mereka. Harusnya anak seusia mereka tidak berada di pasar, tapi idealnya mereka ada di bangku sekolah, dan tengah hari begitu seharusnya mereka ada di rumah, makan siang atau mengerjakan PR atau mungkin tidur siang atau bahkan bermain dengan teman-teman lainnya.

Sering kali kondisi di negara ini memang tidak adil. Ketika mereka, para koruptor semakin kaya dan tertawa lepas di atas penderitaan rakyat, mereka lupa bahwasanya ada banyak hak rakyat yang telah mereka rampas secara paksa. Mungkin secara logika keterhubungan antara koruptor dengan anak-anak penjual keresek itu nampak bias, tapi kalau kita coba renungkan dan coba kita resapi, andai saja mereka, para penjahat rakyat itu sadar, sesadar-sadarnya dengan hati nurani mereka, mereka akan melihat bahwa dalam harta yang mereka makan itu terdapat hak anak-anak penjual keresek yang tadi saya temui di pasar. Andai saja kebijakan-kebijakan mereka itu tidak melanggengkan jalan korupsi, mungkin dari kebijakan-kebijakan itu akan berbuah manis bagi anak-anak penjual keresek tadi. Memang kondisi anak-anak itu tidak sepenuhnya salah negara atau kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para wakil rakyat, toh di parlemen sana pun masih ada orang-orang yang memperjuangkan kebaikan meskipun mungkin mereka adalah golongan minoritas. Hanya saja sebagai sebuah negara yang berdaulat, hendaknya upaya untuk mensejahterakan rakyat, menciptakan kehidupan yang berkeadilan, itu bisa diawali dari gerbang negara beserta perangkat-perangkatnya.

Miris sekali. Cianjur memang kota kecil yang tak semegah Jakarta atau semewah Bandung atau sedahsyat Surabaya atau kota-kota besar lainnya yang ada di Indonesia. Tapi lihatlah kenyataan yang ada. Di kota kecil yang saya cintai ini, wajah-wajah korban ketidak adilan di negeri ini bertebaran di sana-sini. Ketidak adilan itu tidak memandang gender, tidak pula memandang usia, semuanya seolah-olah dipukul rata. Saya dapat membayangkan, betapa ruwetnya potret kehidupan di kota-kota besar yang ada di negeri ini. Wajah-wajah yang sama seperti yang saya temukan di Cianjur atau mungkin lebih mengerikan tumbuh semakin subur di kota-kota megapolitan yang dibangga-banggakan oleh segelintir orang saja.

Itu hanya sekelumit kecil potret suram dari negara dan kota di mana saya pun tumbuh dan hidup di dalamnya. Permasalahan di negeri ini memang seperti lingkaran setan yang saling silang dan berkaitan. Fenomena gunung es banyak dipertunjukkan, menghiasi negara kepulauan yang maha luas ini. Tapi ya, ini hanya pandangan subjektifitas saya saja. Tentu di luar sana ada lebih banyak orang-orang yang jauh lebih objektif (mungkin), jauh lebih berimbang dalam membangun perspektif akan bangsa dan negara kita, Indonesia.

Terbersit kembali salah satu mimpi saya yang masih tertunda. Sebuah sekolah untuk rakyat. Sekolah yang diperuntukkan bagi mereka, anak-anak yang putus sekolah. Sekolah yang dalam peta hidup saya, saya beri nama "Rumah Belajar Cerdas Ceria". Meski grand designnya masih mengambang, bahkan masih bisa dibilang itu baru ada dalam angan-angan saya, tapi ketika asa itu menyala dengan maha dahsyat, menjadi doa dan ikhtiar yang perlahan tapi pasti, saya yakin rumah belajar itu dapat terwujud. Kelak ketika rumah belajar itu ada, maka anak-anak penjual keresek itu harus ada di sana, menjadi bagian untuk dapat menikmati pendidikan dan keceriaan sebagaimana mestinya. Maka mereka, anak-anak yang tak seberuntung saya dan adik-adik saya, mereka harus ada di sana, dan kelak ketika rumah belajar itu terwujud, tidak mustahil bupati, gubernur, menteri, bahkan presiden atau paling tidak generasi muda yang cerdas, berakhlaqul karimah dan kreatif serta inovatif bisa terlahir dari rahim "Rumah Belajar Cerdas Ceria".

Allah, perkenankalah saya mewujudkan satu dari sekian banyak mimpi-mimpi saya...

"Rumah Belajar Cerdas Ceria", semoga engkau tak sekedar mimpi dan asa, tapi kelak berharaplah dalam doa dan ikhtiar bahwa engkau akan menjadi nyata...

"Rumah Belajar Cerdas Ceria', untuk Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan...

"Rumah Belajar Cerdas Ceria", mencerdaskan anak bangsa, mencerahkan untuk Indonesia  yang madani...

Amin ya Rabb...Insyaallah...